Persepsi Elite Politik Terhadap Publik
by Airlangga Pribadi on Wednesday, February 17, 2010 at 11:53am
Persepsi Elite Politik terhadap Publik
Rabu, 17 Februari 2010 | 02:36 WIB
Oleh Airlangga Pribadi
Ketidaktegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam merespons kasus ini menunjukkan bahwa pemerintahan eksekutif yang terpilih melalui pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat pada tahun 2009 terbukti gamang dalam memperjuangkan agenda antikorupsi ataupun menyelesaikan konflik antara lembaga negara yang berada di bawah otoritasnya.
Sementara lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat belum menunjukkan komitmennya terhadap suara rakyat yang menghendaki pengungkapan seterang-terangnya kejahatan korupsi yang melibatkan elite- elite kekuasaan. Meskipun usul Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century tengah bergulir, masih muncul kerisauan di hati publik terkait kekhawatiran tindakan politik ini akan berakhir pada praktik kompromi dan negosiasi politik.
Sementara itu, kita telah menyaksikan bagaimana sejuknya suasana pembicaraan dalam rapat kerja antara DPR dan kepolisian ataupun kejaksaan berbanding terbalik dengan panasnya gejolak tuntutan masyarakat yang menginginkan terbukanya kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bank Century, beserta selubung kepentingan- kepentingan elite politik yang ada di dalamnya.
Pertanyaan penting yang patut dilontarkan terkait dengan kaburnya respons elite politik terhadap suara publik adalah mengapa para elite yang baru saja terpilih ini dapat begitu mudah abai, bahkan melawan kehendak publik. Bagaimana sebenarnya para elite politik ini memaknai masyarakat sebagai konstituen politik mereka. Pendeknya, jawaban terhadap persepsi elite politik akan dinamika suara di arus bawah akan memastikan arah dan kualitas dari politik representasi selama lima tahun ke depan untuk membawa perubahan politik yang bermakna.
Terkait dengan persepsi elite politik terhadap dinamika suara rakyat yang tentunya dapat menjadi acuan kita dalam melihat karakter elite di Indonesia, WF Wertheim (1984) dalam Elite Perception and The Masses; The Indonesian Case menguraikan pandangannya tentang sociology of ignorance (sosiologi ketidaktahuan).
Menurut Wertheim, ketidaksensitifan elite terhadap aspirasi dan kehendak rakyat, terlepas dari mereka kerap menyatakan diri sebagai artikulator kehendak publik, menunjukkan dua hal. Pertama, ada tembok yang begitu tebal membatasi kehidupan sosial dari kelompok elite dengan masyarakatnya. Mereka hidup di ruang-ruang yang terpisah dan jarang sekali terdapat hubungan intens antara elite dan publik.
Untuk kasus interaksi antara kelompok elite politik dan masyarakat di Indonesia dapat dikatakan bahwa mereka yang terpilih menjadi anggota Dewan segera menjadi elite politik minoritas dan menarik batas tegas dari dinamika kehendak publik. Para elite politik itu segera membentuk gaya hidup komunitasnya sendiri dan berjarak dengan denyut nadi kehidupan rakyat.
Kedua, semestinya meskipun mereka berjarak dengan suasana dan kehidupan dari masyarakatnya, para elite ini mampu berhubungan, mendengar, dan bertindak sesuai dengan aspirasi publik mengingat mereka dekat dan menguasai saluran-saluran komunikasi. Dalam konteks ini, para elite politik sebenarnya mengetahui apa yang hadir dan menjadi kegelisahan di kalangan masyarakat akar rumput. Meski demikian, mereka memanfaatkan informasi yang mereka terima ataupun pengetahuan mereka akan realitas sosial di tingkat bawah untuk kepentingan-kepentingan mereka sendiri yang terpisah dengan kepentingan publik.
Pada kasus kriminalisasi KPK, informasi dan pengetahuan para elite tentang tuntutan publik akan keadilan dan terbukanya jejaring intrik dan kepentingan ekonomi-politik yang ada di dalamnya bertolak belakang dengan kepentingan politik mereka. Dominasi kepentingan kekuasaan dalam konfigurasi politik di DPR dan bungkamnya suara oposisi terkait dengan dugaan penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom membatasi potensi DPR sebagai penyeimbang eksekutif ataupun kekuatan kunci yang berpotensi membuka misteri kasus ini.
Artinya, para elite politik sebenarnya mengetahui kegelisahan yang muncul di publik, tetapi mereka menyimpan rapat-rapat pengetahuan itu karena bertentangan dengan kepentingan utama dari kelompok mereka.
Berani menolak publik
Keterpisahan ruang-ruang kehidupan dan perbedaan kepentingan antara elite politik dan publik membuat para elite tidak segera bersuara ketika gelombang arus pasang tuntutan publik begitu kuat untuk mendesak terbukanya keadilan dalam kasus kriminalisasi KPK. Selain fenomena tersebut, satu hal yang sangat merisaukan kita terkait dengan langkah dan tindakan dari anggota Dewan terkait dengan kasus ini, bahkan mereka para elite politik tidak saja diam, tetapi juga berani menentang arus besar tuntutan rakyat.
Keberanian dari elite politik untuk menentang suara rakyat, seperti yang telah terlontar dalam pernyataan anggota DPR bahwa telah terjadi kriminalisasi publik terhadap kepolisian, menunjukkan bahwa para elite politik sebenarnya tidak terlalu menghitung kehadiran suara masyarakat, kekuatan yang sebelumnya membuat mereka terpilih sebagai elite politik.
Ketika suara publik tidak dihitung sebagai kekuatan signifikan yang harus direpresentasikan dalam dinamika politik di lembaga legislatif, amatlah susah membayangkan suatu perubahan politik yang bermakna di tangan para elite politik. Seperti diutarakan oleh Bertolt Brecht dalam karyanya Opera Pengemis, beberapa orang ada di dalam kegelapan, sementara beberapa lainnya di tempat yang terang, orang tentu melihat mereka yang ada di tempat terang, sementara mereka yang di kegelapan tetaplah tidak terlihat!
Argumen-argumen para elite politik cenderung mendukung kondisi status quo kekuasaan yang memberikan penghidupan mewah bagi kepentingan mereka dan kelompok-kelompoknya sehingga adalah sia-sia memasrahkan terbukanya kebenaran di tangan para elite politik saat kepentingan mereka bertentangan dengan nurani publik. Selama kepentingan ekonomi-politik para elite tidak terganggu oleh berbagai skandal dan salah urus pengelolaan negara di negeri ini, mereka tidak akan bertindak aktif untuk menghadirkan kebenaran di hadapan konstituen ataupun rakyat.
Hanya gerakan dan kekuatan rakyat yang hadir bagai gelombang besar yang berlipat-lipat menuntut dan mengingatkan kembali mandat dari rakyat kepada para elite politiklah yang mampu membuka kebebalan para elite politik dan memastikan kontrol demokratik rakyat tetap bekerja.
Airlangga Pribadi Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Koordinator Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga
Rabu, 17 Februari 2010 | 02:36 WIB
Oleh Airlangga Pribadi
Ketidaktegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam merespons kasus ini menunjukkan bahwa pemerintahan eksekutif yang terpilih melalui pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat pada tahun 2009 terbukti gamang dalam memperjuangkan agenda antikorupsi ataupun menyelesaikan konflik antara lembaga negara yang berada di bawah otoritasnya.
Sementara lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat belum menunjukkan komitmennya terhadap suara rakyat yang menghendaki pengungkapan seterang-terangnya kejahatan korupsi yang melibatkan elite- elite kekuasaan. Meskipun usul Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century tengah bergulir, masih muncul kerisauan di hati publik terkait kekhawatiran tindakan politik ini akan berakhir pada praktik kompromi dan negosiasi politik.
Sementara itu, kita telah menyaksikan bagaimana sejuknya suasana pembicaraan dalam rapat kerja antara DPR dan kepolisian ataupun kejaksaan berbanding terbalik dengan panasnya gejolak tuntutan masyarakat yang menginginkan terbukanya kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bank Century, beserta selubung kepentingan- kepentingan elite politik yang ada di dalamnya.
Pertanyaan penting yang patut dilontarkan terkait dengan kaburnya respons elite politik terhadap suara publik adalah mengapa para elite yang baru saja terpilih ini dapat begitu mudah abai, bahkan melawan kehendak publik. Bagaimana sebenarnya para elite politik ini memaknai masyarakat sebagai konstituen politik mereka. Pendeknya, jawaban terhadap persepsi elite politik akan dinamika suara di arus bawah akan memastikan arah dan kualitas dari politik representasi selama lima tahun ke depan untuk membawa perubahan politik yang bermakna.
Terkait dengan persepsi elite politik terhadap dinamika suara rakyat yang tentunya dapat menjadi acuan kita dalam melihat karakter elite di Indonesia, WF Wertheim (1984) dalam Elite Perception and The Masses; The Indonesian Case menguraikan pandangannya tentang sociology of ignorance (sosiologi ketidaktahuan).
Menurut Wertheim, ketidaksensitifan elite terhadap aspirasi dan kehendak rakyat, terlepas dari mereka kerap menyatakan diri sebagai artikulator kehendak publik, menunjukkan dua hal. Pertama, ada tembok yang begitu tebal membatasi kehidupan sosial dari kelompok elite dengan masyarakatnya. Mereka hidup di ruang-ruang yang terpisah dan jarang sekali terdapat hubungan intens antara elite dan publik.
Untuk kasus interaksi antara kelompok elite politik dan masyarakat di Indonesia dapat dikatakan bahwa mereka yang terpilih menjadi anggota Dewan segera menjadi elite politik minoritas dan menarik batas tegas dari dinamika kehendak publik. Para elite politik itu segera membentuk gaya hidup komunitasnya sendiri dan berjarak dengan denyut nadi kehidupan rakyat.
Kedua, semestinya meskipun mereka berjarak dengan suasana dan kehidupan dari masyarakatnya, para elite ini mampu berhubungan, mendengar, dan bertindak sesuai dengan aspirasi publik mengingat mereka dekat dan menguasai saluran-saluran komunikasi. Dalam konteks ini, para elite politik sebenarnya mengetahui apa yang hadir dan menjadi kegelisahan di kalangan masyarakat akar rumput. Meski demikian, mereka memanfaatkan informasi yang mereka terima ataupun pengetahuan mereka akan realitas sosial di tingkat bawah untuk kepentingan-kepentingan mereka sendiri yang terpisah dengan kepentingan publik.
Pada kasus kriminalisasi KPK, informasi dan pengetahuan para elite tentang tuntutan publik akan keadilan dan terbukanya jejaring intrik dan kepentingan ekonomi-politik yang ada di dalamnya bertolak belakang dengan kepentingan politik mereka. Dominasi kepentingan kekuasaan dalam konfigurasi politik di DPR dan bungkamnya suara oposisi terkait dengan dugaan penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom membatasi potensi DPR sebagai penyeimbang eksekutif ataupun kekuatan kunci yang berpotensi membuka misteri kasus ini.
Artinya, para elite politik sebenarnya mengetahui kegelisahan yang muncul di publik, tetapi mereka menyimpan rapat-rapat pengetahuan itu karena bertentangan dengan kepentingan utama dari kelompok mereka.
Berani menolak publik
Keterpisahan ruang-ruang kehidupan dan perbedaan kepentingan antara elite politik dan publik membuat para elite tidak segera bersuara ketika gelombang arus pasang tuntutan publik begitu kuat untuk mendesak terbukanya keadilan dalam kasus kriminalisasi KPK. Selain fenomena tersebut, satu hal yang sangat merisaukan kita terkait dengan langkah dan tindakan dari anggota Dewan terkait dengan kasus ini, bahkan mereka para elite politik tidak saja diam, tetapi juga berani menentang arus besar tuntutan rakyat.
Keberanian dari elite politik untuk menentang suara rakyat, seperti yang telah terlontar dalam pernyataan anggota DPR bahwa telah terjadi kriminalisasi publik terhadap kepolisian, menunjukkan bahwa para elite politik sebenarnya tidak terlalu menghitung kehadiran suara masyarakat, kekuatan yang sebelumnya membuat mereka terpilih sebagai elite politik.
Ketika suara publik tidak dihitung sebagai kekuatan signifikan yang harus direpresentasikan dalam dinamika politik di lembaga legislatif, amatlah susah membayangkan suatu perubahan politik yang bermakna di tangan para elite politik. Seperti diutarakan oleh Bertolt Brecht dalam karyanya Opera Pengemis, beberapa orang ada di dalam kegelapan, sementara beberapa lainnya di tempat yang terang, orang tentu melihat mereka yang ada di tempat terang, sementara mereka yang di kegelapan tetaplah tidak terlihat!
Argumen-argumen para elite politik cenderung mendukung kondisi status quo kekuasaan yang memberikan penghidupan mewah bagi kepentingan mereka dan kelompok-kelompoknya sehingga adalah sia-sia memasrahkan terbukanya kebenaran di tangan para elite politik saat kepentingan mereka bertentangan dengan nurani publik. Selama kepentingan ekonomi-politik para elite tidak terganggu oleh berbagai skandal dan salah urus pengelolaan negara di negeri ini, mereka tidak akan bertindak aktif untuk menghadirkan kebenaran di hadapan konstituen ataupun rakyat.
Hanya gerakan dan kekuatan rakyat yang hadir bagai gelombang besar yang berlipat-lipat menuntut dan mengingatkan kembali mandat dari rakyat kepada para elite politiklah yang mampu membuka kebebalan para elite politik dan memastikan kontrol demokratik rakyat tetap bekerja.
Airlangga Pribadi Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Koordinator Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar