Minggu, 29 Agustus 2010

Negara Inklusif

Negara Inklusif

by Airlangga Pribadi on Tuesday, March 24, 2009 at 1:27pm
Negara Inklusif
Selasa, 24 Maret 2009 | 05:17 WIB



Oleh Airlangga Pribadi


http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/24/05174312/negara.inklusif


Ketika semakin banyak orang mempertanyakan mengapa proses demokrasi di Indonesia tidak melahirkan elite-elite politik yang mampu membawa kesejahteraan sosial dan keadilan publik, gagasan tentang pemerintahan yang kuat tampil mengedepan sebagai isu sentral yang ditawarkan para politisi menjelang Pemilu 2009.

Menggelindingnya ide tersebut diperkuat oleh beberapa peristiwa politik, seperti serbuan gencar iklan di media massa dari Prabowo Subianto dan Partai Gerindra, retorika para elite politik dan fenomena terakhir yang terekam dalam berita utama Kompas (13/3) sekitar pertemuan antara Mega dan JK yang salah satu draf hasil kesepakatannya adalah pentingnya pemerintahan yang kuat untuk masa depan Indonesia.

Kapasitas pemerintahan untuk menjalankan tugas-tugasnya dalam program- program yang konkret, terukur, dan memiliki dampak bagi kualitas hidup masyarakat memang merupakan prasyarat utama menuju kemakmuran bangsa. Namun, gagasan pemerintahan yang kuat bukanlah tanpa persoalan. Hal yang patut dikritisi seputar gagasan ini adalah referensi para intelektual dan politisi pada pemerintahan kuat kerap kali tertuju pada negara-negara yang mampu mendongkrak pembangunan ekonomi minus politik demokrasi, seperti Malaysia, Singapura, dan China.

Gagasan tentang pemerintahan kuat yang berpijak dari model pemerintahan otoriter dapat melupakan kita akan capaian penting demokrasi yang telah membawa peluang emas tidak ternilai, saat rakyat memiliki kesempatan baik melalui hak pilih dan partisipasi politik untuk menentukan baik buruknya pemerintahan. Pada sisi lain ketika kita terpukau oleh hasil- hasil pembangunan dari kepemimpinan kuat tangan besi, kerap kali kita melupakan bahwa warga di negara-negara tersebut harus menukar capaian keberhasilan material ekonomi yang menjulang dengan pembatasan kebebasan politik dan hak-hak sipil. Bukankah tanpa kebebasan politik untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam arena politik, rakyat hanya menjadi penonton pasif dari kehendak elite-elite politik?

Kapasitas negara

Pada saat yang tepat ketika banyak negara yang menapak jalan demokrasi sering tergoda oleh kuatnya kapasitas negara dari beberapa negara otoritarian, Charles Tilly (2007) dalam karyanya, Democracy, membuka wacana tentang kapasitas pemerintahan yang kuat dalam konteks negara demokrasi. Menurut Tilly, dalam bingkai demokrasi, kuatnya kapasitas negara ditentukan oleh tingkat inklusivitas negara merespons suara-suara publik dan kemampuan dari negara memperluas dan mengamankan hak-hak dasar kewargaan serta mengalokasikan sumber- sumber produktif bagi pemenuhan keadilan publik. Pada lintasan demokrasi, kuatnya pemerintahan yang berjalan setara dengan berdayanya dinamika kehidupan demokrasi publik akan menentukan hadirnya negara demokratik yang kuat sekaligus inklusif.

Berbeda dengan tatanan pemerintahan otoriter yang mensyaratkan kesenyapan partisipasi warga, pemerintahan yang kuat dalam tatanan politik demokrasi membutuhkan beberapa syarat, yaitu, pertama, hadirnya karakter budaya keadaban (civility) dan kuatnya tingkat kepercayaan (trust), baik dalam proses-proses politik yang berlangsung antara warga negara dan elite politik maupun di antara elite politik itu sendiri. Kedua, kemampuan negara untuk menyerap, mengelola, dan membuat prioritas kebijakan publik yang mampu memberikan perubahan bermakna bagi kebaikan bersama. Ketiga, inisiatif-inisiatif konstruktif dari kekuatan masyarakat sipil yang sehat untuk memengaruhi dinamika proses politik elite maupun penguatan kapasitas negara ketika memproduksi kebijakan publik.

Persoalannya, di tengah penguatan instalasi demokrasi yang berlangsung dalam lima tahun terakhir, tiga syarat utama bagi terbangunnya pemerintahan yang kuat dalam lintasan demokrasi masih belum berjalan di Indonesia. Hilangnya kemampuan negara untuk menjamin dan melindungi hak-hak sipil dari saudara kita sebangsa dari komunitas Ahmadiyah memperlihatkan bahwa pelembagaan demokrasi prosedural tidak diikuti oleh hadirnya negara inklusif yang menjamin kebebasan, rasa aman, dan hak-hak dasar bagi warganya.

Kemampuan pemerintah untuk menciptakan kebijakan publik yang responsif tidak kita temukan dalam realitas politik keindonesiaan saat ini, ketika relasi antara kebijakan pemerintah dan fakta sosial membentuk hubungan yang kontras. Berita tentang naiknya anggaran untuk pendidikan nasional berjalan seiring dengan biaya pendidikan bagi rakyat yang membubung tinggi, kebanggaan akan hasil swasembada beras pada tahun 2008 tampil sejajar dengan terpuruknya kesejahteraan para petani, sementara gencarnya program pengentasan rakyat dari kemiskinan berjalan kontradiktif dengan jumlah 49 persen masyarakat miskin yang hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dollar AS per hari menurut ukuran Bank Dunia.

Saat kebijakan pemerintah tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kemaslahatan bersama dan arena politik berjalan semakin terasing dari denyut aspirasi publik, maka warga negara menjadi kehilangan antusiasmenya untuk berperan dalam arena politik. Kapasitas negara melemah sejalan dengan hilangnya hasrat politik untuk menghadirkan inisiatif kewargaan bagi tumbuhnya politik yang berkeadaban.

Inisiatif warga

Dalam kasus Indonesia, tinjauan kritis terhadap pentingnya pemerintahan yang kuat membutuhkan langkah pertama yang berangkat dari tumbuhnya kembali hasrat dan inisiatif politik konstruktif dari warga negara. Putaran kampanye pemilihan legislatif adalah salah satu momentum bagi warga negara untuk merintis jalan membangun kapasitas negara yang kuat. Saat ini adalah waktu yang tepat bagi aktor- aktor strategis masyarakat sipil untuk memastikan bagaimana membangun mekanisme seleksi publik yang ketat untuk menghasilkan elite-elite politik yang bersih.

Hal penting lainnya adalah merumuskan tindakan politik apakah yang secara efektif dapat dilakukan oleh warga negara untuk mengawal politisi dengan janji-janji mereka sehingga ketika mereka terpilih, warga dapat meminimalisasi kemungkinan pengkhianatan mandat oleh para elite kepada publik. Dengan langkah-langkah bersahaja dan konkret seperti itulah pemerintahan kuat yang inklusif akan tumbuh di Indonesia untuk mendengarkan suara-suara publik, bekerja bagi pemuliaan martabat kemanusiaan, dan peningkatan kualitas hidup dari warganya.

Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

Magnum Opus Bung Karno Pancasila

Magnum Opus Bung Karno: Pancasila

by Airlangga Pribadi on Wednesday, February 10, 2010 at 11:34am
Magnum Opus Bung Karno: Pancasila!
Sabtu, 30 Mei 2009 | 20:25 WIB

surabayapost.co.id/

Oleh : Airlangga Pribadi (Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga)

Kebanggaan sebagai bangsa yang hampir saja punah terkikis, tampil kembali ketika nama Soekarno disebut. Tidaklah berlebihan apabila nama Soekarno dianggap sebagai ikon penanda dari suara kemandirian bangsa, gotong royong dan kerja keras untuk mewujudkan kebaikan bersama. Penghormatan telah disematkan pula kepadanya oleh para pemikir dan politisi dunia dari Bertrand Russel sampai Tariq Ali, mulai John F. Kennedy sampai Ernesto ‘Che’ Guevara. Sayang, gagasan-gagasan Soekarno (Soekarnoisme) saat ini hanya sayup-sayup terdengar, dan kerap diangkat oleh politisi dalam ritual 5 tahunan pemilihan umum, untuk selanjutnya dilupakan saat mereka berkuasa.
Membicarakan labirin gagasan besar Soekarno, dari karyanya Islamisme, Marxisme, Nasionalisme sampai Marhaenisme akan bermuara pada Pancasila sebagai magnum opus intelektual dari Soekarno. Pancasila merupakan refleksi Soekarno untuk mencari kerangka ideologis bagi kehidupan bersama rakyat Indonesia. Ide Pancasila mencoba merumuskan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan dari kemerdekaan Republik Indonesia dari proses refleksi dan dialog dengan spektrum-spektrum ide-ide besar yang menjadi elan vital dari pergerakan nasional Indonesia.
Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 yang berjudul Lahirnya Pancasila merupakan refleksi Soekarno yang tumbuh dan berkembang dalam tempaan persilangan ideologi-ideologi utama dalam tradisi pergerakan nasional. Hibridasi tersebut kemudian mewujud dalam penjelasannya pada lima prinsip utama landasan Indonesia merdeka yaitu Pertama, Kebangsaan Indonesia. Kedua, Internasionalisme atau perikemanusiaan. Ketiga, mufakat atau demokrasi. Keempat, Kesejahteraan sosial. Kelima, Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan YME.
Prinsip-prinsip dasar bernegara yang tertuang dalam gagasan Soekarno tentang Pancasila adalah prinsip-prinsip yang satu sama lain saling terhubung. Dalam pidatonya tersebut Soekarno menguraikan keterhubungan erat antara konsep nasionalisme dan internasionalisme. Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam bumi nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.
Nasionalisme Indonesia tidaklah menganut pada nasionalisme yang eksklusif, yang menempatkan bangsanya di atas bangsa-bangsa yang lain, namun nasionalisme Indonesia selain berpijak pada landasan kegotong-royongan dari seluruh rakyat Indonersia (sosio-nasionalisme) juga berkarakter kosmopolitan dalam artian sadar akan posisi dirinya sebagai bagian dari bangsa-bangsa lain. Sementara di sisi lain prinsip dasar kebangsaan di Indonesia menurut Soekarno meyakini bahwa nilai-nilai internasionalisme haruslah berakar dan berpijak pada rumah kebangsaan atau nasionalisme.
Kesadaran akan kosmopolitanisme yang tidak berpijak pada akar kebangsaan hanya akan menciptakan visi politik yang utopis, mengingat persemaian gagasan-gagasan etis kemanusiaan hanya akan tumbuh dalam lahan-lahan subur rumah kebangsaan.
Argumen Soekarno tentang karakter nasionalisme yang terbuka dengan internasionalisme yang bersendikan nilai-nilai humanitas dapat dikembangkan dalam kerangka baru hubungan antara nasionalisme inklusif dan demokrasi kosmopolitanisme. Prinsip Kosmopolitanisme salah satunya dikembangkan oleh David Held (2003) menjadi salah satu landasan pembentukan struktur-struktur ekonomi dan politik dunia yang bersifat demokratis dan mampu menjadi penyeimbang dari perluasan lembaga-lembaga ekonomi dunia yang mengarah pada penciptaan ekonomi pasar bebas yang meminggirkan nilai-nilai keadilan sosial.
Namun demikian landasan etis dan politik kosmopolitanisme ini dalam banyak hal tidak terlalu percaya dengan fondasi nasionalisme yang pada pergantian zaman ini semakin menumbuhkan semangat xenophobia dan chauvinistik. Di banyak negara, nasionalisme justru menjadi persemaian dari konflik-konflik sosial dan politik serta semangat etnis dan kelompok. Dalam kerangka inilah tesis Soekarno tentang internasionalisme yang berakar pada nasionalisme yang terbuka dan nasionalisme yang tumbuh dalam taman sari internasionalisme menemukan relevansinya, agar nilai-nilai kemanusiaan universal yang tumbuh dalam kerangka kosmopolitanisme dapat bersemai dan berumah dalam dinamika pergaulan negara-bangsa yang berkarakter nasionalisme inklusif.
Prinsip ketiga yang menjadi landasan bernegara Indonesia menurut Soekarno adalah prinsip mufakat atau demokrasi. Dalam uraiannya Soekarno mengutarakan bahwa negara Indonesia bukanlah negara untuk satu golongan, bukan negara untuk satu kelompok atau untuk orang kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua” yang mutlak untuk kuatnya Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal...yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Ketika menyapa seluruh anggota BPUKI yang hadir dalam rapat tersebut Soekarno menguraikan bahwa “...Kita mendirikan negara Indonesia , yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen untuk Indonesia, bukan golongan Islam untuk Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, ---Semua buat Semua!”
Landasan Soekarno tentang prinsip ketiga bernegara Indonesia ini mengisyaratkan karakter demokrasi Indonesia yang bersendikan semangat gotong royong dalam proses komunikasi intersubyektif dengan argumentasi rasional untuk merumuskan kehendak bersama baik dalam proses-proses rapat maupun dalam lembaga perwakilan. Tentunya landasan demokrasi yang coba ditanamkan oleh Soekarno dalam prinsip-prinsip kehidupan bernegara sangat berbeda dengan karakter transaksional dan pasar bebas politik yang biasa muncul dalam karakter demokrasi liberal.
Ulasan Soekarno tentang karakter “kesemuaan” dan gotong royong dalam demokrasi Indonesia dapat kita tarik dalam konteks perdebatan filosofi politik saat ini terkait dengan pertentangan antara wacana demokrasi deliberatif yang berbasis forum dan demokrasi liberal prosedural yang berbasis logika transaksi pasar. Jon Elster (1999) dalam karyanya “The Market and The Forum: Three Varieties of Political Theory” menguraikan antara perbedaan kontras antara fondasi demokrasi deliberatif yang bersendikan pada komunikasi intersubyektif untuk menemukan landasan bagi kebaikan bersama dengan model demokrasi liberal prosedural yang bersendikan transaksi pasar politik.
Apabila model demokrasi liberal prosedural semata-mata yang digunakan sebagai acuan dalam arena politik, maka persuasi dan negosiasi politik dijalankan hanya untuk mendapatkan dukungan mayoritas dalam perimbangan kekuasaan politik. Politik menjadi sekedar transaksi di arena pasar bebas. Ketika ini terjadi, demokrasi dalam banyak kesempatan kerapkali tersandera oleh kepentingan privat. Landasan Soekarno tentang demokrasi berbasis musyawarah dan mufakat apabila dipertimbangkan dengan baik dapat menjadi sumber bagi Pertama, pengembangan demokrasi deliberatif yang berbasis pada penciptaan argumentasi rasional melalui tindak wicara yang berbasis kesetaraan untuk merumuskan kehendak bersama. Kedua, demokasi partisipatoris yang bersendikan partisipasi aktif dari warganegara agar turut menentukan keberesan kehidupan politik dan keberesan kehidupan ekonomi bagi kepentingan rakyat Indonesia.
Saat ini penguatan dan konsolidasi demokrasi prosedural seharusnya dikuatkan dengan demokrasi deliberatif yang mempertimbangkan argumentasi-argumentasi rasional dilevel warganegara dan demokrasi partisipatoris yang bersendikan pelibatan aktif dari tiap-tiap warganegara agar kebijakan-kebijakan politik yang dibangun memenuhi prasyarat pemenuhan kehendak bersama.
Prinsip keempat dari landasan bernegara Indonesia menurut Soekarno adalah kesejahteraan sosial. Berkaca pada pengalaman demokrasi Eropa yang menempatkan perjuangan revolusi Prancis sebagai model, memang tiap-tiap warganegara dalam alam demokrasi liberal mendapatkan hak-hak politik yang sama, mereka berhak memilih dalam Pemilihan Umum dan dipilih sebagai wakil rakyat dalam lembaga parlemen, namun rakyat yang mendapatkan hak-hak politik yang setara, dapat dengan mudah disingkirkan dari tempat kerjanya di pabrik-pabrik.
Atas dasar itulah menurut Soekarno prinsip kesejahteraan sosial haruslah menjadi landasan dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia yang bersendikan demokrasi baik dalam arena politik maupun ekonomi. Demokrasi politik liberal yang hanya melindungi kebebasan individual tidaklah memadai sebagai prinsip dasar berdemokrasi di Indonesia, karena prinsip tersebut tidak menjamin terciptanya kesejahteraan umum dan terpenuhinya hak-hak dasar dalam dimensi sosial dan ekonomi warganegara.
Dalam perbincangan tentang wacana demokrasi kontemporer, pemikiran Soekarno tentang demokrasi dan kesejahteraan umum ini bergaung kembali dalam perdebatan tentang fondasi filosofis dari prinsip demokrasi. Carol C. Gould (1990) menguraikan bahwa landasan demokrasi liberal yang berbasis individualisme dan penempatan wilayah sosial dan ekonomi sebagai wilayah privat justru menghambat perluasan dan pemenuhan kesetaraan status dari setiap warganegara. Untuk itu diperlukan pemaknaan ulang terhadap konsep individu dalam demokrasi liberal bukan pada pengejaran kepentingan diri (self-interest), namun lebih dari itu penting juga dimasukkan konsep tentang self-development individual.
Dalam ulasan tentang kerangka desain demokrasi yang sejalan dengan pengembangan diri individu agar secara otentik memiliki posisi yang setara satu sama lain, ruang demokrasi harus diperluas tidak saja pada wilayah sipil dan politik namun juga pada wilayah sosial dan ekonomi. Ruang-ruang ekonomi dan sosial tidaklah lagi dapat dimaknai sebagai ruang privat yang tidak tersentuh oleh kehendak demokratisasi dari warganegara.
Agar terpenuhi tujuan kesejahteraan sosial, konsep individu yang merdeka dalam kerangka politik demokrasi semestinya tersambung dengan prinsip social cooperation (kooperasi sosial). Prinsip kerjasama sosial inilah yang dapat lebih melengkapi tatanan demokrasi baik yang berjalan dalam arena sosial dan ekonomi maupun dalam wilayah politik untuk merumuskan kesejahteraan sosial bagi tiap-tiap warga negara.
Kelima, prinsip Ketuhanan. Dalam uraian Soekarno tentang prinsip Ketuhanan ia menguraikan bahwa tidak saja bangsa Indonesia haruslah berKetuhanan, namun lebih luas dari itu adalah berKetuhanan dalam kebudayaan. Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk seluruh rakyat Indonesia. Lebih dari itu menurut Soekarno landasan Ketuhanan bagi bangsa Indonesia hendaknya memanifes dalam etika pergaulan kehidupan masyarakatnya berbudipekerti luhur dan saling menghormati satu sama lain.
Semangat berketuhanan dalam kehidupan masyarakat Indonesia sudah semestinya tidak memanifes sebagai kepercayaan yang eksklusif dan ingin menempatkan landasan dasar keagamaannya sebagai gagasan dominan dalam kehidupan berbangsa yang diperjuangkan dalam kerangka politik simbolik dan formalis. Namun lebih dari itu landasan religiusitas hendaknya muncul dalam semangat kesadaran akan kebhinekaan bangsa dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Apabila dikontekstualisasikan dalam perbincangan diskursif tentang gagasan-gagasan kenegaraan saat ini maka nilai-nilai dasar Pancasila yang pada awalnya dipelopori oleh pemikiran Soekarno hendaknya dikembangkan lebih maju menjadi prinsip-prinsip Pertama, nasionalisme yang terbuka (inclusive) dan berkeadaban (civic). Kedua, demokrasi kosmopolitan yang menghargai humanitas. Ketiga, Demokrasi deliberatif dan partisipatoris. Keempat, kooperasi sosial yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Kelima landasan religiusitas yang menjadi spirit dari kerangka prinsip-prinsip dasar dari landasn bernegara di Indonesia. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan dia Soekarno telah berfikir melampaui semangat zamannya!


Buku Karya Soekarno:
Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I dan II
Lahirnya Pantja Sila
Revolusi Indonesia: Nasionalisme. Marhaen dan Pancasila
Sarinah : Kewajiban wanita dalam perjuangan RI
Dari Proklamasi Sampai Takem: Terbitan Berisi Pidato Proklamasi Diutjapkan Oleh P.J.M. Presiden R.I. Pada Tiap Tanggal 17 Agustus Sedjak Tahun 1945 Sampai 1961 dan 1962

Tonggak Penting Sejarah Soekarno

06 Juni 1901 Soekarno lahir Surabaya dari pasangan Sukemi Sosrodihardjo (seorang guru) dan Ida ayu Nyoman Rai(bangsawan Bali) yang lebih dikenal Idayu
04 Juni 1927 Seokarno mendirikan perserikatan Nasional Indonesia(PNI) yang kemudian diubah menjadi Partai Nasional Indonesia(PNI).
17 Agustus 1945 teks Proklamasi di bacakan di kediaman Soekarno.
01 juni 1945 Soekarno menyampaikan visi tentang falsafah dan dasar Negara yang kemudian dikenal sebagai hari lahir pancasila.
18-25 april 1955 Soekarno membawa Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferesi Asia Afrika di Bandung.
05 juli 1959 Soekarno mengeluarkan dekrit yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945.
30 september 1960 Soekarno mengingatkan pembebasan Irian Barat dan direalisasikan dengan Trikora.
14 Januari 1999 mendapat tanda penghargaan lencana tugas kencana, sebagian dari sederet gelar lainya, termasuk 27 gelar doctor kehormatan.

Mencari Bangsawan Pikiran

Mencari Bangsawan Pikiran

by Airlangga Pribadi on Saturday, February 13, 2010 at 2:33pm
Artikel: Mencari “BANGSAWAN PIKIRAN”
Mei 13, 2009
[ Oleh Airlangga Pribadi ] KOMPAS - Rabu, 13 May 2009 :

Pada tahun 1902 di Amsterdam, editor majalah Bintang Hindia, dokter
Abdul Rivai, membuka edisi perdana dengan argumen yang menggetarkan.
“Tak perloe memperpandjang
perbintjangan kita mengenai bangsawan oesoel karena kemuntjulannja
memang telah ditakdirkan. Djika nenek mojang kita terlahir sebagai
bangsawan, kita poen bisa diseboet sebagai bangsawan bahkan meskipoen
pengetahoean dan prestasi kita tak ebahnja seperti pepatah katak dalam
tempoeroeng. Saat ini prestasi dan pengetahoeanlah jang akan
menentoekan posisi seseorang. Inilah sitoeasi jang melahirkan munculnja
bangsawan pikiran“.
Pada fajar era pergerakan nasional dengan memperkenalkan istilah
“bangsawan pikiran”, Abdul Rivai menjadi wakil suara kaum terpelajar
bumiputra yang memasuki era modern dengan memberikan penghormatan
terhadap pengetahuan, prestasi, sekaligus menyerukan perlawanan
terhadap feodalisme yang disimbolkan dengan istilah bangsawan oesoel.
Mengenang gagasan “bangsawan pikiran” dan bangsawan oeseol yang
diperkenalkan Abdul Rivai 107 tahun silam-setelah pengalaman sejarah
kebangsaan, kita telah melewati berbagai pergantian kekuasaan dari masa
penjajahan Belanda sampai era reformasi-sungguh menyedihkan saat arena
politik kita kini masih menghadapi ancaman neofeodalisme.
Dengan getir, kondisi itu diungkap Ahmad Syafii Maarif (Kompas, 4/5)
saat ia menilai perilaku elite politisi kita yang belum bisa bersikap
sebagai negarawan. Mereka tidak hanya membiarkan, tetapi juga ikut
melahirkan tampilnya generasi politisi penyusu yang tampil ke panggung
politik bermodal keturunan dan asal-usul tanpa pernah memberikan
statement dan jejak politik yang bermakna.
Pada zaman Abdul Rivai, para bangsawan oesoel mendapat kekuasaan
hanya dengan menyandang gelar kebangsawanan tanpa berjuang keras,
capaian intelektual, atau pengabdian kepada rakyat.
Kini, seruan Ahmad Syafii Maarif tentang lahirnya generasi penyusu
yang menandai ancaman neofeodalisme menyeruak dengan kehadiran anak,
istri, dan kerabat elite yang tampil menapak takhta kekuasaan
semata-mata mengandalkan nama besar elite politisi di belakang namanya.
Ancaman demokrasi
Tanpa kita sadari, hadirnya generasi politik penyusu dan bangsawan
oesoel pada era reformasi ini berpotensi menghancurkan proses demokrasi
yang sedang kita bangun. Ada tiga hal yang menunjukkan bagaimana kaum
bangsawan oesoel tampil di panggung politik melalui posisi istimewa
dalam partai politik dan terhambatnya bangsawan pikiran masuk parpol
pada era reformasi akan berpotensi menghancurkan capaian demokrasi.
Pertama,
dalam sistem demokrasi, parpol berperan sebagai agen politik strategis,
menyiapkan kader politik terbaiknya untuk tampil dan mendapat
kesempatan terpilih menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif yang
merepresentasikan kepentingan dari konstituennya.
Pendeknya, kader politik yang disiapkan parpol sebagai elite politik
sebenarnya berperan melayani kepentingan dari suara rakyat yang mereka
wakili. Ketika elite politik secara sepihak menampilkan anak, istri,
dan kerabatnya sebagai elite politik tanpa proses seleksi politik
internal yang demokratis, partai tidak bekerja melayani aspirasi
konstituen yang seharusnya mereka wakili.
Eksistensi dan tindakan partai tidak lebih hanya melayani
kepentingan personal dari elite politik dan dinasti politik mereka.
Parpol telah meninggalkan peran utamanya dalam proses demokrasi untuk
bekerja melayani rakyat.
Ketika mekanisme parpol memberikan kesempatan lebih kepada kaum
bangsawan oesoel, yaitu mereka yang diuntungkan karena memiliki
kedekatan kekerabatan dengan elite sebagai elite politik baru, publik
kehilangan kesempatan untuk memilih “bangsawan pikiran”, kelompok yang
merepresentasikan kader politik yang cerdas, berwawasan, dan ditempa
oleh kompetisi politik yang fair untuk menjadi wakil rakyat dalam arena
politik.
Partisipasi
Kedua,
salah satu tujuan dari proses demokrasi adalah hadirnya kesetaraan
kesempatan dari tiap warga negara untuk berpartisipasi dalam arena
politik, apa pun latar belakang sosial maupun ekonominya.
Ketika mekanisme internal dalam parpol untuk melakukan rekrutmen
politik dan seleksi elite politik tidak berdasarkan kriteria yang adil
dan meritokratis (kemampuan kepemimpinan dan kapasitas personal),
tetapi berpijak pada kedekatan pada elite politik, kondisi ini akan
menghalangikita mencapai salah satu tujuan demokrasi, yaitu tercapainya
kesetaraan kesempatan bagi tiap warga negara untuk terpilih secara fair
sebagai elite politik atau berpartisipasi aktif dalam arena politik.
Ketiga,
arena politik dalam sistem demokrasi memiliki orientasi untuk bergerak
dalam rasionalitas kolektif dan bekerja melayani kebaikan bersama.
Seperti diutarakan Colin Hay (2007) dalam Why We Hate Politics, ketika
arena politik bekerja melayani rasionalitas kepentingan pragmatis
personal elite-elite politik, rasionalitas kepentingan personal dalam
arena politik hanya akan menghasilkan irasionalitas kolektif.
Saat para elite politik hanya melayani kepentingan personal maupun
keluarganya dengan meminggirkan kesempatan bagi yang lain, maka politik
tidak akan bekerja bagi kepentingan banyak orang. Politik hanya menjadi
sarana bagi elite politik dan keluarganya untuk mengeksploitasi
kekuasaan dan keuntungan material.
Akibatnya, kepentingan publik dan konstituen dalam arena politik
tidak pernah dilayani partai yang hanya memproduksi generasi politik
penyusu maupun bangsawan oesoel. Maka, tidaklah mengherankan apabila
para elite politik kita hanya berhenti menjadi politisi dan tidak akan
pernah menjadi negarawan.
Adalah tantangan mendesak bagi kehidupan politik ke depan untuk
mencari kaum bangsawan pikiran, kaum yang berpotensi menjadi negarawan
bukan hanya sekadar politisi.
AIRLANGGA PRIBADI

Pengajar Ilmu Politik FISIP

Universitas Airlangga; Direktur Riset Democracy and Conflict Governance
Institute

Oposisi dan Masyarakat Sipil

Oposisi dan Masyarakat Sipil

by Airlangga Pribadi on Friday, September 18, 2009 at 8:49pm
Oposisi dan Masyarakat Sipil

Kompas Jumat, 11 September 2009 | 04:56 WIB

Airlangga Pribadi

Saat semua partai politik besar akan berhimpun dalam koalisi penguasa, arena politik negeri ini kehilangan kekuatan politik oposisi yang berperan sebagai pengimbang dan pengontrol bagi kekuasaan.

Saat kekuatan pengimbang dari parlemen maupun parpol terancam hilang, hadirnya kekuatan oposisi berbasis masyarakat sipil menemukan relevansinya guna menghindari konformitas politik dan mengartikulasikan perspektif politik yang berbeda dari arus dominan elite politik.

Setelah arena politik Indonesia saat kontestasi pemilu presiden lalu dipadati pertarungan gagasan dan visi ideologis yang beragam (ekonomi kerakyatan vs neoliberalisme), kini drama politik Indonesia terancam sampai pada kondisi antiklimaks. Kondisi ini muncul saat harapan akan hadirnya keragaman dan pluralitas visi politik yang akan mendinamisasi relasi antara legislatif dan eksekutif maupun kehidupan parpol di Indonesia terkikis suasana politik akomodasi antarelite parpol berbasis imbalan kursi kekuasaan.

Tanpa hadirnya keragaman dan pluralitas politik dalam arena politik demokrasi, publik kehilangan kesempatan mengartikulasikan hasrat dan kehendak politiknya di hadapan aneka pilihan ideologi kerja yang beragam dari tiap kekuatan parpol. Keragaman alternatif ideologi yang akan diartikulasikan partai politik tidak akan berkembang baik saat kesempatan itu dikikis langkah elite parpol yang merapat pada kekuasaan. Dan mereka puas dengan imbalan politik yang diberikan penguasa sebagai konsesi atas dukungan politiknya. Di sinilah fenomena kemungkinan merapatnya PDI-P dan Partai Golkar dalam koalisi yang dibangun Partai Demokrat tidak saja menunjukkan pragmatisme elite politik semata, tetapi mereka juga bertanggung jawab atas hilangnya kesempatan membangun arena politik sebagai tempat tumbuhnya beragam alternatif gagasan guna mengartikulasikan hasrat politik publik.

Saat aktivitas politik sebagai jual beli kekuasaan menggantikan politik sebagai perjuangan mengartikulasikan aneka harapan publik yang berbeda, sulit bagi kita membedakan kondisi politik pada rezim demokrasi dan rezim otoritarianisme. Jika pada rezim otoritarianisme pemusatan kekuasaan bekerja melalui opresi politik dan hegemoni, rezim demokrasi nir-oposisi politik menciptakan pemusatan kekuasaan yang dilakukan melalui praktik transaksi kekuasaan dan politik pencitraan guna merekayasa persetujuan. Mekanisme demokrasi secara ironis bekerja untuk memberikan kesempatan para elite parpol melakukan pertukaran kepentingan politik dan menjauhkan mereka dari harapan dan hasrat dari konstituen politiknya.

Peran oposisional

Ketika kekuatan masyarakat politik (elite parpol dan legislatif) tidak menampilkan diri sebagai kekuatan kontrol dan penyeimbang dari koalisi politik yang berkuasa, saatnyalah aktor-aktor strategis masyarakat sipil bekerja sebagai kekuatan oposisional. Seperti diutarakan Alfred Stepan (2001), ketika parpol dan elite politik telah terintegrasi pada blok yang berkuasa, demokrasi harus diperjuangkan oleh kekuatan masyarakat sipil.

Secara umum ada beberapa peran penting oposisional kekuatan masyarakat sipil untuk menyelamatkan demokrasi. Pertama, oposisi berbasis masyarakat sipil berperan mencegah proses integrasi kekuatan politik pada kekuasaan politik. Saat semua elite politik utama menyatu dalam koalisi kekuasaan (SBY dan Partai Demokrat), hadirnya oposisi masyarakat sipil bekerja untuk menjaga perkembangan ideologi dan budaya politik progresif yang baru tampil dalam ruang publik di Indonesia. Harapan tumbuhnya alternatif gagasan yang berbeda tentang masa depan republik ini akan bersemi di ruang publik meski penguasa berhasil merekayasa persetujuan dan menjinakkan elite-elite parpol utama di negeri ini.

Kedua, munculnya berbagai kekuatan strategis masyarakat sipil sebagai oposisi berperan menjaga zona otonom publik dari penetrasi masif kekuasaan politik yang mendesakkan penerimaan dan persetujuan. Saat kekuatan berbagai parpol terintegrasi dengan blok penguasa, sulit mengharap mereka mengartikulasikan suara beda konstituen dengan program dan kebijakan politik dari elite kekuasaan. Oposisi masyarakat sipil bekerja untuk mengartikulasikan suara rakyat yang berbeda dari kebijakan dan diskursus politik elite. Kehadiran oposisi politik dari aktor strategis masyarakat sipil berguna sebagai katalis suara publik sehingga proses demokrasi untuk menciptakan ruang otonom bagi hidupnya berbagai artikulasi gagasan akan terselamatkan.

Ketiga, tampilnya kekuatan oposisi masyarakat sipil bertujuan mengonsolidasikan berbagai kekuatan gerakan sosial yang terpencar dan bekerja dalam ruang-ruang aktivitas sosial yang saling tersekat. Tugas penting oposisi masyarakat sipil adalah menghimpun jejaring kekuatan sosial yang menjadi blok sejarah bagi perubahan pada masa mendatang. Antonio Negri dan Michael Hardt (2004) dalam Multitude mengemukakan, pada konteks politik nasional, jalan perubahan dapat terbangun saat berbagai gerakan sosial kritis membentuk jejaring kolektif gerakan (common web) sebagai artikulasi politik yang kokoh guna menghadapi penyeragaman politik dari elite-elite penguasa.

Apabila aktor-aktor masyarakat sipil di Indonesia sadar akan peran historis mereka sebagai kekuatan oposisional, tugas selanjutnya adalah merumuskan format oposisi yang strategis dan efektif.

Gagasan oposisi itu dapat mengambil banyak bentuk, mulai dengan menciptakan kabinet bayangan dengan menunjukkan kepada publik pilihan kebijakan yang berbeda dari pemerintah sampai pemberdayaan kekuatan masyarakat sipil. Ini untuk mengontrol dan menampilkan suara alternatif dari kebijakan yang diproduksi elite politik, yang telah menjadi bagian koalisi penguasa.

Airlangga Pribadi Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga; Direktur Riset Democracy and Conflict Governance Institute
powered by:

Oposisi Berorientasi Gerakan

Oposisi Berorientasi Gerakan

by Airlangga Pribadi on Thursday, October 29, 2009 at 11:23am
Oposisi Berorientasi Gerakan

KOMPAS
Kamis, 29 Oktober 2009 | 05:01 WIB

Airlangga Pribadi

Ketika elite partai merapat ke koalisi SBY, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyatakan kader PDI-P di parlemen bersikap mandiri.

Ketegasan Megawati itu menunjukkan adanya sensitivitas elite politik terhadap suara demokratik yang tidak menginginkan ada pemusatan kekuasaan dalam politik Indonesia. Lalu, langkah awal apa yang harus diambil PDI-P untuk memerankan diri sebagai kekuatan oposisi yang otentik?

Ketika politik pencitraan dan rekayasa telah memenangkan dukungan yang kuat dari publik dan elite politik terhadap SBY dan Partai Demokrat, kekuatan oposisi harus memiliki strategi untuk mengantisipasinya. Terkait hal itu, saatnya kekuatan oposisional seperti PDI-P menoleh ke dinamika akar rumput, mengencangkan relasi organik antara partai dan gerakan sosial, serta melakukan reposisi menuju partai berorientasi gerakan sosial.

Seperti diutarakan Diarmuid Maguire (1995) dalam Opposition Movements and Opposition Party, relasi antara gerakan sosial dan parpol akan cenderung mendekat saat parpol ada di wilayah oposisi. Partai oposisi yang tidak memiliki kekuasaan signifikan membutuhkan dukungan politik strategis dari aktor-aktor masyarakat sipil guna memperkuat dukungan politik dan menghimpun kepercayaan publik. Saat gerakan sosial yang kerap kritis dengan kebijakan pemerintah mampu membantu partai mencapai tujuan itu, parpol akan tertarik untuk membangun hubungan politik yang erat.

Pendeknya, terjadi pertemuan kepentingan antara parpol oposisi dan gerakan sosial saat berhadapan dengan kekuasaan. Gerakan sosial dapat membantu partai oposisi untuk menghimpun dukungan publik dan meretas jalan menuju kekuasaan, sementara parpol oposisi dapat memberikan komitmennya kepada gerakan sosial untuk mewujudkan aspirasi mereka dalam tindakan dan formula politik.

Konsolidasi gerakan

Dalam konteks pertarungan politik di Indonesia, pembentukan kerja sama politik antara parpol oposisi dan gerakan sosial sebagai penyeimbang dari arus besar kekuasaan rezim SBY-Boediono amatlah besar. Terlepas dari pembangunan berbagai institusi demokrasi yang berlangsung selama ini, proses reformasi masih menyisakan berbagai agenda demokrasi substansial yang belum tersentuh, seperti masalah keadilan transisional untuk menuntut keadilan bagi korban HAM pada masa lalu, gerakan antikorupsi, perjuangan kaum perempuan, buruh, dan lingkungan hidup, maupun gerakan antineoliberalisme yang menuntut kontrol demokratik warga terhadap kekuatan kapital, merupakan wilayah-wilayah strategis untuk mengonsolidasikan kerja politik antara partai oposisi dan gerakan sosial.

Secara umum, upaya merajut relasi antara partai oposisi dan gerakan sosial memerlukan kerja sama intens dalam tiga bidang.

Pertama, terkait sumber daya organisasional kemampuan pendanaan, infrastruktur yang kokoh dan kapasitas aktor-aktor politik di parpol dan gerakan sosial amat menentukan bekerjanya konsolidasi antara parpol dan gerakan sosial. Tanpa ditopang sumber daya organisasional yang kuat antara kader partai dan aktivis gerakan sosial, jalan awal membangun kerja sama antara kekuatan partai oposisi dan gerakan sosial sulit tercapai.

Kedua, sumber daya kultural kerja sama antara parpol oposisi dan gerakan sosial membutuhkan kapasitas dari aktor parpol dan gerakan untuk memiliki kapasitas merepresentasikan orientasi nilai-nilai kultural dan karakter masyarakat sipil yang menjadi tujuan gerakan. Pada konteks politik Indonesia, sorotan utama tertuju pada elite politik. Di tengah kemewahan hidup, mampukah mereka bekerja sama dengan masyarakat dan gerakan rakyat jelata dengan mengubah gaya hidup untuk bersikap egaliter, sederhana, dan rendah hati saat bertemu, berkomunikasi, dan mengartikulasikan rakyat. Tanpa mengubah orientasi karakter dan cara hidup, elite politik akan sulit menjadi penyambung suara rakyat.

Ketiga, sumber daya kebijakan. Meskipun partai oposisi tidak memiliki kekuasaan politik untuk mengimplementasikan kebijakan di level negara, bukan berarti kehilangan kekuatan untuk mempenetrasikan kebijakan. Pertemuan gagasan dan dukungan gerakan sosial terhadap langkah partai oposisi amat memengaruhi kapasitas kekuatan oposisi di parlemen untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah yang tidak membela kepentingan publik. Di sisi lain, partai oposisi dapat menerapkan kebijakan yang telah dirumuskan bersama gerakan sosial di tingkat lokal, di mana kader partai oposisi menjadi pemimpin maupun kepala daerah. Jika partai oposisi bersedia merajut kembali relasi dengan gerakan sosial, kita dapat berharap akan terjadi perubahan dalam politik Indonesia, orientasi politik pencitraan menuju gerakan.

Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga; Direktur Riset Democratic Conflict Governance Institute

Tuhan Tak Perlu Dibela (Persembahan Untuk KH Abdurrahman Wahid)

Tuhan Tak Perlu Dibela (Persembahan Untuk KH Abdurrahman Wahid)

by Airlangga Pribadi on Thursday, December 31, 2009 at 12:47pm
Surabaya Post
31 Desember 2009

Tuhan Tak Perlu Dibela
(Persembahan Untuk KH Abdurrahman Wahid)

Oleh
Airlangga Pribadi
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga
Koordinator Serikat Dosen Progresif

Tuhan tak perlu dibela, (manusia lah yang harus dibela)! Pertama-tama saya mendengar kata-kata tersebut terlontar dari KH Abdurrahman Wahid pada waktu saya kuliah strata sarjana Ilmu Politik, maka spontan vonis ‘Sekuler!” saya alamatkan kepadanya dengan sebuah pemaknaan yang pejoratif. Pandangan naïf seorang mahasiswa yang baru saja menimba ilmu ini perlahan-lahan berubah dalam memaknai kata-kata yang keluar dari Gus Dur tersebut, setelah merenung dalam-dalam, adakah makna Tauhid yang lebih radikal yang melampaui lontaran kalimat diatas?

Pengakuan Tuhan tak perlu dibela adalah bentuk pengakuan paling dalam dari seorang hamba akan keberkuasaan dan keberserahdiriannya kepada Sang Pencipta, sementara kalimat peneguhan tersebut memiliki konsekwensi dalam yaitu tanggung jawab dari tiap-tiap manusia untuk membela nilai-nilai kemanusiaan sebagai wujud keberserah dirian kepada Sang Pencipta dengan kata, fikiran dan perjuangan. Kita semua menjadi saksi bagaimana dalam sapuan besar jejak-langkahnya KH Abdurrahman Wahid mengabdikan dirinya utuh untuk menghormati dan memperjuangkan nilai-nilai humanitas. Komitmen pada demokrasi inklusif, pembelaan terhadap kaum minoritas, pluralisme dan multikulturalisme, menjadi komitmen beliau dalam peran-perannya sebagai Kyai, pemikir, aktivis NGO, budayawan maupun Presiden dan politisi.

Mengulas cakrawala pemikiran Gus Dur beserta mozaik-mozaik detailnya bukanlah pekerjaan yang mudah, dan tidak dapat diselesaikan dalam artikel pendek ini. Saya hanya akan mengulas Pertama, ide-ide utama sebatas pengetahuan saya terhadap cakrawala pemikiran beliau dan makna pentingnya bagi penguatan karakter kebangsaan kita. Kedua, konsistensi beliau sebagai Presiden Rakyat Indonesia dalam masa kepemimpinannya membela Republik, Kebhinekaan dan Demokrasi.

Dalam khasanah kaum pembaru Islam di Indonesia nama Abdurrahman Wahid sekelas dan dapat disejajarkan dengan mendiang Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo. Sebagai pemikir pembaru Islam di jalur kulturalis, tiga pemikiran utamanya yang patut untuk diapresiasi dalam-dalam adalah pemahamannya akan Pertama, Islam bukan sebagai ideologi politik namun sebagai cakrawala komplementer untuk membentuk mozaik Keindonesiaan. Kedua, perkembangan Islam dalam wilayah kultural, berangkat dari dialog interaktif dengan tradisi-tradisi lokal yang tumbuh dalam taman puspa sari Keindonesiaan. Ketiga, peran ummat Islam adalah bersama-sama komponen kebangsaan lainnya adalah membela dan memperjuangkan masyarakat terbuka dan demokratis dalam makna substantif terdalamnya.

Untuk seorang intelektual yang secara multidimensi terbentuk dalam tradisi pemikiran liberasi Islam dunia, khasanah pemikiran Barat modern dengan gagasan demokrasi. Visi Gus Dur sebagai intelektual Muslim organik tersebut terasa tidak kehilangan karakter keislaman tradisionalnya dan semangat nasionalismenya. Ekspose Gus Dur terhadap khasana pemikiran Eropa dan kosmopolitannya tidak membuat dirinya tercabut dari akar tradisi dan komitmen kebangsaannya. Dalam konteks perjuangan untuk membangun masyarakat terbuka, demokratis dan bermartabat di Indonesia, Gus Dur memberikan pelajaran penting kepada kita, bahwa sebagai bagian dari anak bangsa yang memiliki wawasan yang sangat kaya, pertemuan-pertemuan terhadap tradisi pemikiran maupun kekuatan-kekuatan Barat tidak harus membuat kita kehilangan kepercayaan diri dan menjadi Mr Yes-Man. Dalam encounter (pertemuan) dengan yang lain, integritas diri dan kemampuan untuk menyerap segala hal dari luar harus diabdikan dalam kerja-kerja budaya untuk berinteraksi, mengadopsi dan berinovasi. Dalam karya seorang antropolog Prancis Dennys Lombard yang mengulas secara mendalam tentang Jawa-Nusantara, kemampuan inilah yang disebut sebagai warisan Genius Lokal Nusantara.

Sebagai seorang Guru Bangsa dan Guru kaum Muslim Indonesia, tiga tesis keberislaman dalam bingkai keindonesiaan dari Abdurrahman Wahid tersebut, adalah jawaban dari inferioritas kompleks ummat Islam Indonesia sejak masa kolonial sampai pertengahan era Orde Baru yang dalam bahasa WF Wertheim mengalami sindroma Majority with Minority Mentality. Gus Dur membuka wawasan dan kesadaran ummat Islam Indonesia bahwa eksistensinya dengan komunitas lain dalam konteks kebangsaan menuntut mereka untuk bersikap rendah hati dan tidak ingin menang sendiri untuk merealisasikan kebaikan bersama dalam konteks kewargaan, dan berkomitmen kepada mereka yang disingkirkan, warga minoritas dan membangun komunikasi demokratik agar seluruh suara dapat didengar maupun dibela dalam bingkai tatanan politik Republik. Teks Gus Dur ini menggemakan kembali gagasan Hannah Arendt yang menempatkan komitmen bersama tiap warga negara dalam ruang Polis untuk menciptakan tindakan liberatif bagi kebaikan bersama melawan korupsi politik, kepentingan-kepentingan sempit kelompok dan privat.

Sebagai Presiden
Tidak saja sebagai pemikir, kyai dan aktivis hal yang kerap kita lupa bahwa KH Abdurrahman Wahid sebagai seorang Presiden maupun politisi adalah manusia politik yang langka bagi Indonesia saat ini ditengah transaksi dan perdagangan sebagai modus utama aktivitas politisi Indonesia selama ini. Seorang politisi yang keras kepala dengan ide-idenya dan berani untuk bertanggung jawab dan memperjuangkannya. Melakukan rekonsiliasi nasional dan keadilan transisional bagi mereka yang tertindas, menggiring agar TNI kembali ke barak dan menegaskan supremasi sipil, menghalau setiap kehendak fanatisisme dan ekstremisme dalam ranah kebangsaan, meminta maaf terhadap kesalahan kaumnya berpuluh tahun yang lampau, dan bernegosiasi dengan cerdas sebagai bangsa yang terhormat dalam pergaulan bangsa internasional dengan kekuatan AS, Eropa, China, India dan negara lainnya. Meskipun dengan semua itu beliau harus mempertaruhkan kekuasaan politiknya. Sesuatu yang dengan rasa tanggung jawab dan komitmen seorang negarawan republik dengan kehormatan ia bela dan hadapi. Selamat jalan Gus Dur, Selamat jalan Guru Bangsa dan Selamat Jalan Kekasih rakyat Indonesia! Engkau menghadap Sang Pencipta dengan amal perbuatan dalam pembelaan pada kemanusian.

Politik Masyarakat Jaringan

Politik Masyarakat Jaringan

by Airlangga Pribadi on Friday, January 8, 2010 at 11:45am
Politik Masyarakat Jaringan

KOMPAS
Jumat, 8 Januari 2010 | 02:42 WIB


Oleh Airlangga Pribadi

Sepertinya titik terang kehidupan politik Indonesia akan muncul pada tahun 2010. Inisiatif menegakkan kehidupan bernegara yang lebih baik ini agaknya tidak berawal dari kesadaran aktor-aktor politisi di legislatif, partai politik, ataupun eksekutif, tetapi akan bermula dari kebangkitan warga negara.

Tepatnya upaya progresif masyarakat yang berjejaring melalui jaringan realitas virtual, berpotensi mengubah realitas politik Indonesia yang telah mengalami pendangkalan dan alienasi dari kehidupan publik.

Telah lebih dari satu dekade reformasi, ketidakpercayaan pu- blik terhadap realitas politik dan limbungnya pengelolaan negara hukum demokratik menjadi realitas dominan. Bulan-bulan terakhir tahun 2009 memperlihatkan pembalikan realitas muram tersebut ketika peran warga negara bangkit dari tidur lelapnya. Apatisme dan ketidakpercayaan terhadap bekerjanya aparatus ne- gara dan politisi, baik dalam ranah hukum, sosial, maupun politik telah berubah menjadi optimisme dan inisiatif untuk melakukan penegasan kehadiran warga negara dalam arena publik.

Hal ini terjadi ketika warga negara melakukan konsolidasi sosial dan pembingkaian peristi- wa-peristiwa sosial melalui situs- situs realitas maya. Pada kasus kriminalisasi petinggi KPK, skandal bail-out Bank Century, dan ketidakadilan hukum terhadap Prita Mulyasari, solidaritas publik tampil mengesankan.

Masyarakat jaringan

Hadirnya kekuatan masyarakat jaringan melalui internet untuk merehabilitasi kehidupan publik mendekatkan kita pada uraian Manuel Castells (2000) dalam karyanya The Rise of the Network Society. Menurut Castells, seperti lahirnya rel-rel kereta api yang menjadi penopang infrastruktur ekonomi penting bagi kelahiran kapitalisme industrial pada abad ke-19, perkembangan teknologi informasi melalui hadirnya internet dengan si- tus-situs website menjadi infrastruktur sosial-ekonomi-politik yang penting bagi proses global- isasi semenjak akhir abad ke-20.

Masa depan globalisasi yang berbasis masyarakat informasi tidak hanya memunculkan tafsir datar tentang prosesi perayaan kedangkalan dalam kehidupan sosial budaya dan politik. Perkembangan teknologi informasi dalam era globalisasi memiliki potensi untuk memberdayakan kreativitas kultural, mendorong kapasitas produktif dan membuka komunikasi interpersonal di wilayah publik.

Secara politik, percepatan arus teknologi informasi memberikan wadah luas bagi artikulasi warga negara, baik dalam ekspresi bentuk-bentuk gerakan sosial baru, penyebaran diskursus keagamaan liberatif maupun proses reclaiming politik oleh publik dari perilaku korup para politisi. Ketika praktik demokrasi representatif berjalan begitu dangkal dan menyuguhkan proses-proses keberjarakan politisi dari warga negara serta alienasi publik dari politik demokrasi, situs-situs seperti facebook, twitter, ataupun milis-milis diskusi dapat menjadi ruang baru untuk memulai proses konsolidasi warga negara.

Dalam hiruk-pikuk masyarakat jaringan, tiap-tiap orang melakukan tindak komunikasi bersama dengan warga yang memunculkan inisiatif dan inovasi untuk mengubah rutinitas dalam ruang sosial, politik, serta budaya yang begitu menjemukan dan hanya berpihak kepada mereka yang kuat. Tak hanya solidaritas bersama dan komunikasi inklusif yang dapat dibangun, proses perluasan dukungan publik terhadap suatu isu dapat diperluas dan diperkuat, bahkan melewati lintas batas bangsa dalam masyarakat jaringan informasi.

Kesempatan-kesempatan untuk mempertegas kekuasaan pu- blik di tengah politik perwakilan yang begitu berjarak dengan kehendak publik dapat diciptakan untuk menyatukan bahasa publik dalam membela kepentingan bersama. Pendeknya, kesempat- an-kesempatan yang terbentang dalam masyarakat jejaring reali- tas virtual ini memberi ruang un- tuk memperdalam praktik berde- mokrasi yang kini tengah mengalami proses pendangkalan.

Demokrasi virtual

Kesempatan tentunya tak hadir tanpa adanya tantangan. Demikian pula potensi bagi pendalaman demokrasi pada abad ke-21 ini juga tidak hadir tanpa kemungkinan tantangan dan hambatan terhadapnya. Sebagai sebuah media, jaringan informasi internet selain dapat digunakan bagi proses-proses edukasi dan perluasan demokrasi juga dapat dengan mudah digunakan untuk kepentingan yang bertolak belakang dengannya. Selain berpotensi mendorong pendalaman demokrasi dan penguatan gerakan sosial baru, realitas jejaring virtual juga dipadati oleh situs-situs dukungan terhadap gerakan fanatisme, teror, dan gagasan eksklusif yang mengajarkan kebencian kepada yang berbeda.

Pada sisi lain, arus kepentingan aparatus negara yang dapat terancam kepentingannya oleh bentuk-bentuk pendalaman demokrasi juga dapat menggunakan kekuasaan yang digenggamnya untuk menciptakan produk hukum yang dapat merepresi arus bebas informasi.

Ruang politik memang tidak terlepas dari ajang kontestasi dan pertarungan, tetapi Indonesia tahun 2010 dapat menjadi awal bagi proses perluasan dan pendalaman demokrasi melalui aktivitas masyarakat jaringan. Ini dapat menjadi tonggak awal bagi sesuatu yang dibayangkan oleh Muhammad Hatta tentang pemerintahan demokrasi sebagai ”pemerintahan oleh kaum yang terperintah”. Ketika warga negara terlibat langsung dalam aktivitas politik bagi penyelenggaraan kehidupan bersama dan mengawalnya dari penyelewengan tindak-tindak politik koruptif dan alienatif oleh elite yang berkuasa.

Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga