Oposisi Berorientasi Gerakan
by Airlangga Pribadi on Thursday, October 29, 2009 at 11:23am
Oposisi Berorientasi Gerakan
KOMPAS
Kamis, 29 Oktober 2009 | 05:01 WIB
Airlangga Pribadi
Ketika elite partai merapat ke koalisi SBY, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyatakan kader PDI-P di parlemen bersikap mandiri.
Ketegasan Megawati itu menunjukkan adanya sensitivitas elite politik terhadap suara demokratik yang tidak menginginkan ada pemusatan kekuasaan dalam politik Indonesia. Lalu, langkah awal apa yang harus diambil PDI-P untuk memerankan diri sebagai kekuatan oposisi yang otentik?
Ketika politik pencitraan dan rekayasa telah memenangkan dukungan yang kuat dari publik dan elite politik terhadap SBY dan Partai Demokrat, kekuatan oposisi harus memiliki strategi untuk mengantisipasinya. Terkait hal itu, saatnya kekuatan oposisional seperti PDI-P menoleh ke dinamika akar rumput, mengencangkan relasi organik antara partai dan gerakan sosial, serta melakukan reposisi menuju partai berorientasi gerakan sosial.
Seperti diutarakan Diarmuid Maguire (1995) dalam Opposition Movements and Opposition Party, relasi antara gerakan sosial dan parpol akan cenderung mendekat saat parpol ada di wilayah oposisi. Partai oposisi yang tidak memiliki kekuasaan signifikan membutuhkan dukungan politik strategis dari aktor-aktor masyarakat sipil guna memperkuat dukungan politik dan menghimpun kepercayaan publik. Saat gerakan sosial yang kerap kritis dengan kebijakan pemerintah mampu membantu partai mencapai tujuan itu, parpol akan tertarik untuk membangun hubungan politik yang erat.
Pendeknya, terjadi pertemuan kepentingan antara parpol oposisi dan gerakan sosial saat berhadapan dengan kekuasaan. Gerakan sosial dapat membantu partai oposisi untuk menghimpun dukungan publik dan meretas jalan menuju kekuasaan, sementara parpol oposisi dapat memberikan komitmennya kepada gerakan sosial untuk mewujudkan aspirasi mereka dalam tindakan dan formula politik.
Konsolidasi gerakan
Dalam konteks pertarungan politik di Indonesia, pembentukan kerja sama politik antara parpol oposisi dan gerakan sosial sebagai penyeimbang dari arus besar kekuasaan rezim SBY-Boediono amatlah besar. Terlepas dari pembangunan berbagai institusi demokrasi yang berlangsung selama ini, proses reformasi masih menyisakan berbagai agenda demokrasi substansial yang belum tersentuh, seperti masalah keadilan transisional untuk menuntut keadilan bagi korban HAM pada masa lalu, gerakan antikorupsi, perjuangan kaum perempuan, buruh, dan lingkungan hidup, maupun gerakan antineoliberalisme yang menuntut kontrol demokratik warga terhadap kekuatan kapital, merupakan wilayah-wilayah strategis untuk mengonsolidasikan kerja politik antara partai oposisi dan gerakan sosial.
Secara umum, upaya merajut relasi antara partai oposisi dan gerakan sosial memerlukan kerja sama intens dalam tiga bidang.
Pertama, terkait sumber daya organisasional kemampuan pendanaan, infrastruktur yang kokoh dan kapasitas aktor-aktor politik di parpol dan gerakan sosial amat menentukan bekerjanya konsolidasi antara parpol dan gerakan sosial. Tanpa ditopang sumber daya organisasional yang kuat antara kader partai dan aktivis gerakan sosial, jalan awal membangun kerja sama antara kekuatan partai oposisi dan gerakan sosial sulit tercapai.
Kedua, sumber daya kultural kerja sama antara parpol oposisi dan gerakan sosial membutuhkan kapasitas dari aktor parpol dan gerakan untuk memiliki kapasitas merepresentasikan orientasi nilai-nilai kultural dan karakter masyarakat sipil yang menjadi tujuan gerakan. Pada konteks politik Indonesia, sorotan utama tertuju pada elite politik. Di tengah kemewahan hidup, mampukah mereka bekerja sama dengan masyarakat dan gerakan rakyat jelata dengan mengubah gaya hidup untuk bersikap egaliter, sederhana, dan rendah hati saat bertemu, berkomunikasi, dan mengartikulasikan rakyat. Tanpa mengubah orientasi karakter dan cara hidup, elite politik akan sulit menjadi penyambung suara rakyat.
Ketiga, sumber daya kebijakan. Meskipun partai oposisi tidak memiliki kekuasaan politik untuk mengimplementasikan kebijakan di level negara, bukan berarti kehilangan kekuatan untuk mempenetrasikan kebijakan. Pertemuan gagasan dan dukungan gerakan sosial terhadap langkah partai oposisi amat memengaruhi kapasitas kekuatan oposisi di parlemen untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah yang tidak membela kepentingan publik. Di sisi lain, partai oposisi dapat menerapkan kebijakan yang telah dirumuskan bersama gerakan sosial di tingkat lokal, di mana kader partai oposisi menjadi pemimpin maupun kepala daerah. Jika partai oposisi bersedia merajut kembali relasi dengan gerakan sosial, kita dapat berharap akan terjadi perubahan dalam politik Indonesia, orientasi politik pencitraan menuju gerakan.
Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga; Direktur Riset Democratic Conflict Governance Institute
KOMPAS
Kamis, 29 Oktober 2009 | 05:01 WIB
Airlangga Pribadi
Ketika elite partai merapat ke koalisi SBY, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyatakan kader PDI-P di parlemen bersikap mandiri.
Ketegasan Megawati itu menunjukkan adanya sensitivitas elite politik terhadap suara demokratik yang tidak menginginkan ada pemusatan kekuasaan dalam politik Indonesia. Lalu, langkah awal apa yang harus diambil PDI-P untuk memerankan diri sebagai kekuatan oposisi yang otentik?
Ketika politik pencitraan dan rekayasa telah memenangkan dukungan yang kuat dari publik dan elite politik terhadap SBY dan Partai Demokrat, kekuatan oposisi harus memiliki strategi untuk mengantisipasinya. Terkait hal itu, saatnya kekuatan oposisional seperti PDI-P menoleh ke dinamika akar rumput, mengencangkan relasi organik antara partai dan gerakan sosial, serta melakukan reposisi menuju partai berorientasi gerakan sosial.
Seperti diutarakan Diarmuid Maguire (1995) dalam Opposition Movements and Opposition Party, relasi antara gerakan sosial dan parpol akan cenderung mendekat saat parpol ada di wilayah oposisi. Partai oposisi yang tidak memiliki kekuasaan signifikan membutuhkan dukungan politik strategis dari aktor-aktor masyarakat sipil guna memperkuat dukungan politik dan menghimpun kepercayaan publik. Saat gerakan sosial yang kerap kritis dengan kebijakan pemerintah mampu membantu partai mencapai tujuan itu, parpol akan tertarik untuk membangun hubungan politik yang erat.
Pendeknya, terjadi pertemuan kepentingan antara parpol oposisi dan gerakan sosial saat berhadapan dengan kekuasaan. Gerakan sosial dapat membantu partai oposisi untuk menghimpun dukungan publik dan meretas jalan menuju kekuasaan, sementara parpol oposisi dapat memberikan komitmennya kepada gerakan sosial untuk mewujudkan aspirasi mereka dalam tindakan dan formula politik.
Konsolidasi gerakan
Dalam konteks pertarungan politik di Indonesia, pembentukan kerja sama politik antara parpol oposisi dan gerakan sosial sebagai penyeimbang dari arus besar kekuasaan rezim SBY-Boediono amatlah besar. Terlepas dari pembangunan berbagai institusi demokrasi yang berlangsung selama ini, proses reformasi masih menyisakan berbagai agenda demokrasi substansial yang belum tersentuh, seperti masalah keadilan transisional untuk menuntut keadilan bagi korban HAM pada masa lalu, gerakan antikorupsi, perjuangan kaum perempuan, buruh, dan lingkungan hidup, maupun gerakan antineoliberalisme yang menuntut kontrol demokratik warga terhadap kekuatan kapital, merupakan wilayah-wilayah strategis untuk mengonsolidasikan kerja politik antara partai oposisi dan gerakan sosial.
Secara umum, upaya merajut relasi antara partai oposisi dan gerakan sosial memerlukan kerja sama intens dalam tiga bidang.
Pertama, terkait sumber daya organisasional kemampuan pendanaan, infrastruktur yang kokoh dan kapasitas aktor-aktor politik di parpol dan gerakan sosial amat menentukan bekerjanya konsolidasi antara parpol dan gerakan sosial. Tanpa ditopang sumber daya organisasional yang kuat antara kader partai dan aktivis gerakan sosial, jalan awal membangun kerja sama antara kekuatan partai oposisi dan gerakan sosial sulit tercapai.
Kedua, sumber daya kultural kerja sama antara parpol oposisi dan gerakan sosial membutuhkan kapasitas dari aktor parpol dan gerakan untuk memiliki kapasitas merepresentasikan orientasi nilai-nilai kultural dan karakter masyarakat sipil yang menjadi tujuan gerakan. Pada konteks politik Indonesia, sorotan utama tertuju pada elite politik. Di tengah kemewahan hidup, mampukah mereka bekerja sama dengan masyarakat dan gerakan rakyat jelata dengan mengubah gaya hidup untuk bersikap egaliter, sederhana, dan rendah hati saat bertemu, berkomunikasi, dan mengartikulasikan rakyat. Tanpa mengubah orientasi karakter dan cara hidup, elite politik akan sulit menjadi penyambung suara rakyat.
Ketiga, sumber daya kebijakan. Meskipun partai oposisi tidak memiliki kekuasaan politik untuk mengimplementasikan kebijakan di level negara, bukan berarti kehilangan kekuatan untuk mempenetrasikan kebijakan. Pertemuan gagasan dan dukungan gerakan sosial terhadap langkah partai oposisi amat memengaruhi kapasitas kekuatan oposisi di parlemen untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah yang tidak membela kepentingan publik. Di sisi lain, partai oposisi dapat menerapkan kebijakan yang telah dirumuskan bersama gerakan sosial di tingkat lokal, di mana kader partai oposisi menjadi pemimpin maupun kepala daerah. Jika partai oposisi bersedia merajut kembali relasi dengan gerakan sosial, kita dapat berharap akan terjadi perubahan dalam politik Indonesia, orientasi politik pencitraan menuju gerakan.
Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga; Direktur Riset Democratic Conflict Governance Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar