Minggu, 29 Agustus 2010

Mencari Bangsawan Pikiran

Mencari Bangsawan Pikiran

by Airlangga Pribadi on Saturday, February 13, 2010 at 2:33pm
Artikel: Mencari “BANGSAWAN PIKIRAN”
Mei 13, 2009
[ Oleh Airlangga Pribadi ] KOMPAS - Rabu, 13 May 2009 :

Pada tahun 1902 di Amsterdam, editor majalah Bintang Hindia, dokter
Abdul Rivai, membuka edisi perdana dengan argumen yang menggetarkan.
“Tak perloe memperpandjang
perbintjangan kita mengenai bangsawan oesoel karena kemuntjulannja
memang telah ditakdirkan. Djika nenek mojang kita terlahir sebagai
bangsawan, kita poen bisa diseboet sebagai bangsawan bahkan meskipoen
pengetahoean dan prestasi kita tak ebahnja seperti pepatah katak dalam
tempoeroeng. Saat ini prestasi dan pengetahoeanlah jang akan
menentoekan posisi seseorang. Inilah sitoeasi jang melahirkan munculnja
bangsawan pikiran“.
Pada fajar era pergerakan nasional dengan memperkenalkan istilah
“bangsawan pikiran”, Abdul Rivai menjadi wakil suara kaum terpelajar
bumiputra yang memasuki era modern dengan memberikan penghormatan
terhadap pengetahuan, prestasi, sekaligus menyerukan perlawanan
terhadap feodalisme yang disimbolkan dengan istilah bangsawan oesoel.
Mengenang gagasan “bangsawan pikiran” dan bangsawan oeseol yang
diperkenalkan Abdul Rivai 107 tahun silam-setelah pengalaman sejarah
kebangsaan, kita telah melewati berbagai pergantian kekuasaan dari masa
penjajahan Belanda sampai era reformasi-sungguh menyedihkan saat arena
politik kita kini masih menghadapi ancaman neofeodalisme.
Dengan getir, kondisi itu diungkap Ahmad Syafii Maarif (Kompas, 4/5)
saat ia menilai perilaku elite politisi kita yang belum bisa bersikap
sebagai negarawan. Mereka tidak hanya membiarkan, tetapi juga ikut
melahirkan tampilnya generasi politisi penyusu yang tampil ke panggung
politik bermodal keturunan dan asal-usul tanpa pernah memberikan
statement dan jejak politik yang bermakna.
Pada zaman Abdul Rivai, para bangsawan oesoel mendapat kekuasaan
hanya dengan menyandang gelar kebangsawanan tanpa berjuang keras,
capaian intelektual, atau pengabdian kepada rakyat.
Kini, seruan Ahmad Syafii Maarif tentang lahirnya generasi penyusu
yang menandai ancaman neofeodalisme menyeruak dengan kehadiran anak,
istri, dan kerabat elite yang tampil menapak takhta kekuasaan
semata-mata mengandalkan nama besar elite politisi di belakang namanya.
Ancaman demokrasi
Tanpa kita sadari, hadirnya generasi politik penyusu dan bangsawan
oesoel pada era reformasi ini berpotensi menghancurkan proses demokrasi
yang sedang kita bangun. Ada tiga hal yang menunjukkan bagaimana kaum
bangsawan oesoel tampil di panggung politik melalui posisi istimewa
dalam partai politik dan terhambatnya bangsawan pikiran masuk parpol
pada era reformasi akan berpotensi menghancurkan capaian demokrasi.
Pertama,
dalam sistem demokrasi, parpol berperan sebagai agen politik strategis,
menyiapkan kader politik terbaiknya untuk tampil dan mendapat
kesempatan terpilih menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif yang
merepresentasikan kepentingan dari konstituennya.
Pendeknya, kader politik yang disiapkan parpol sebagai elite politik
sebenarnya berperan melayani kepentingan dari suara rakyat yang mereka
wakili. Ketika elite politik secara sepihak menampilkan anak, istri,
dan kerabatnya sebagai elite politik tanpa proses seleksi politik
internal yang demokratis, partai tidak bekerja melayani aspirasi
konstituen yang seharusnya mereka wakili.
Eksistensi dan tindakan partai tidak lebih hanya melayani
kepentingan personal dari elite politik dan dinasti politik mereka.
Parpol telah meninggalkan peran utamanya dalam proses demokrasi untuk
bekerja melayani rakyat.
Ketika mekanisme parpol memberikan kesempatan lebih kepada kaum
bangsawan oesoel, yaitu mereka yang diuntungkan karena memiliki
kedekatan kekerabatan dengan elite sebagai elite politik baru, publik
kehilangan kesempatan untuk memilih “bangsawan pikiran”, kelompok yang
merepresentasikan kader politik yang cerdas, berwawasan, dan ditempa
oleh kompetisi politik yang fair untuk menjadi wakil rakyat dalam arena
politik.
Partisipasi
Kedua,
salah satu tujuan dari proses demokrasi adalah hadirnya kesetaraan
kesempatan dari tiap warga negara untuk berpartisipasi dalam arena
politik, apa pun latar belakang sosial maupun ekonominya.
Ketika mekanisme internal dalam parpol untuk melakukan rekrutmen
politik dan seleksi elite politik tidak berdasarkan kriteria yang adil
dan meritokratis (kemampuan kepemimpinan dan kapasitas personal),
tetapi berpijak pada kedekatan pada elite politik, kondisi ini akan
menghalangikita mencapai salah satu tujuan demokrasi, yaitu tercapainya
kesetaraan kesempatan bagi tiap warga negara untuk terpilih secara fair
sebagai elite politik atau berpartisipasi aktif dalam arena politik.
Ketiga,
arena politik dalam sistem demokrasi memiliki orientasi untuk bergerak
dalam rasionalitas kolektif dan bekerja melayani kebaikan bersama.
Seperti diutarakan Colin Hay (2007) dalam Why We Hate Politics, ketika
arena politik bekerja melayani rasionalitas kepentingan pragmatis
personal elite-elite politik, rasionalitas kepentingan personal dalam
arena politik hanya akan menghasilkan irasionalitas kolektif.
Saat para elite politik hanya melayani kepentingan personal maupun
keluarganya dengan meminggirkan kesempatan bagi yang lain, maka politik
tidak akan bekerja bagi kepentingan banyak orang. Politik hanya menjadi
sarana bagi elite politik dan keluarganya untuk mengeksploitasi
kekuasaan dan keuntungan material.
Akibatnya, kepentingan publik dan konstituen dalam arena politik
tidak pernah dilayani partai yang hanya memproduksi generasi politik
penyusu maupun bangsawan oesoel. Maka, tidaklah mengherankan apabila
para elite politik kita hanya berhenti menjadi politisi dan tidak akan
pernah menjadi negarawan.
Adalah tantangan mendesak bagi kehidupan politik ke depan untuk
mencari kaum bangsawan pikiran, kaum yang berpotensi menjadi negarawan
bukan hanya sekadar politisi.
AIRLANGGA PRIBADI

Pengajar Ilmu Politik FISIP

Universitas Airlangga; Direktur Riset Democracy and Conflict Governance
Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar