Minggu, 29 Agustus 2010

Menimbang Posisi Politik

Menimbang Posisi Politik

by Airlangga Pribadi on Wednesday, April 7, 2010 at 7:50am
Menimbang Posisi Politik

KOMPAS
Rabu, 7 April 2010 | 03:18 WIB

Oleh Airlangga Pribadi

Hal yang patut disadari para elite politik adalah menjalankan partai politik modern tidak sama dengan menjalankan perusahaan keluarga.

Seiring meningkatnya kesadaran memilih dari masyarakat, hendaknya para elite politik sadar, orientasi yang terarah pada keuntungan ekonomi politik kelompok yang dapat diwariskan kepada keturunannya justru akan meruntuhkan pencitraan partai di hadapan konstituennya. Konsistensi partai untuk bertahan dalam posisi politik yang jelas, dibalut oleh ideologi yang membumi, adalah jalan merebut hati rakyat dalam lingkungan politik yang kian cerdas.

Menjelang Kongres PDI-P pada 5-9 April mendatang, selain agenda tentang pemilihan ketua umum PDI-P yang hampir bisa dipastikan memilih kembali Megawati Soekarnoputri, ada satu agenda menarik yang akan dibahas. Agenda itu terkait dengan sikap politik PDI-P terhadap kekuasaan. Apakah PDI-P akan tetap konsisten pada posisi politik kritis terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kekuatan oposisi ataukah PDI-P seperti yang tengah diwacanakan beberapa elite politiknya akan merapat dan masuk pada koalisi pemerintah.

Manuver politik yang tengah diupayakan di internal PDI-P ini terasa membingungkan bagi publik. Apabila sebelumnya kita semua menonton aksi lantang dan kritis fraksi PDI-P dalam kasus ”Centurygate”, dalam waktu sekejap kita dihadapkan pada kemungkinan perubahan sikap politik elite PDI-P. Pertanyaannya, mengapa elite partai dengan mudah berpindah tempat dan berusaha mendekat dengan kekuasaan justru ketika simpati publik secara perlahan tumbuh atas partai ini. Lalu, dalam strategi pencitraan parpol modern, efektifkah strategi politik zig-zag seperti ini untuk merebut hati dan memperluas dukungan partai di hadapan konstituen.

Citra politik

Pada era politik pasar saat ini seakan-akan fleksibilitas dalam bertransaksi menjadi sesuatu yang utama bagi elite-elite politik untuk menghidupi partai politik. Posisi politik partai yang stabil beserta ideologi politik yang kuat dan kontekstual diabaikan dalam pembicaraan iklim politik demokrasi yang berkarakter pasar. Politik pencitraan dalam benak para elite hanya sebatas pada performa diri untuk tampil santun di publik, sementara konsistensi partai dalam bersikap terhadap isu-isu politik mendasar yang terus dipantau rakyat dianggap bukan bagian inheren dari upaya mengangkat performa partai secara institusional.

Setidaknya itulah yang segera tertangkap dalam penyikapan yang dilakukan beberapa elite utama PDI-P terkait kehendak mereka untuk merapat ke poros koalisi pemerintah justru ketika publik mendapat kesan partai tengah membangun dirinya sebagai partai oposisi yang mampu mengartikulasikan ketidakpuasan publik terhadap kekuasaan. Satu hal yang dilupakan para elite politik ini terkait kemampuan bertahan dalam lingkungan pasar politik, bahwa jauh melampaui pencitraan diri dan kapasitas bertransaksi politik, kemampuan bersaing dengan kekuatan politik lain beserta posisi politik yang jelas terhadap isu publik fundamental adalah kunci bagi kemenangan parpol meraih dukungan rakyat dalam pasar politik.

Saat hasrat rakyat begitu menggelora untuk menghadirkan pertanyaan tentang ”apa yang benar dalam wilayah politik” sebagai indikator dalam mengawasi jalannya pemerintahan, munculnya kekuatan politik yang berintegritas menjadi katarsis politik yang dibutuhkan publik. Sementara itu tarikan kepentingan personal elite yang kuat memperlihatkan, alih-alih partai berusaha membangun koneksitas strategis terhadap kekuatan masyarakat sipil, pada kenyataannya partai masih menggunakan relasi manipulatif dengan menempatkan rakyat sebagai obyek untuk melakukan transaksi politik personal.

Peran ideologi

Begitu cepat harapan surut dalam setiap berlangsungnya drama politik di republik ini. Berkaca pada kemungkinan pragmatisme politik yang kemungkinan akan dilakukan pada kongres di Bali, sebuah pertanyaan muncul, mengapa partai yang dikendalikan oleh elite-elite politiknya selalu membangun hubungan yang bersifat manipulatif seperti ini. Jawaban pertanyaan itu dapat ditemukan pada perbincangan yang selama ini ditabukan, yaitu hilangnya peran ideologi di dalam partai politik.

Berbicara tentang peran ideologi dalam partai bukanlah berbicara tentang introduksi sistem pemikiran tertutup kepada kader-kader partai ataupun konstituen. Berbicara tentang ideologi dalam konteks ini adalah meminjam pandangan Indonesianis, Clifford Geertz (1972), dalam karyanya Ideology as Cultural System, an Interpretation of Culture tentang ideologi sebagai pemetaan atas kompleksitas persoalan publik guna membangkitkan kesadaran politik secara kolektif. Dalam konteks politik kepartaian, berpikir ideologi adalah menempatkan partai sebagai wadah untuk memikirkan semesta persoalan publik dengan menghadirkan tidak saja kader-kader partai, tetapi juga publik yang memiliki komitmen terhadap program partai tersebut dalam sebuah kesadaran untuk membangun lingkungan politik yang lebih baik di masa depan.

Dorongan untuk memperkuat dan memperluas antusiasme publik terhadap partai politik tidak dapat dilepaskan dari internalisasi ideologi dalam tubuh partai politik. Ideologi politik akan mengisi ruang kosong yang selama ini absen dalam kontestasi demokrasi politik kita. Menumbuhkan karakter politik ideologis di dalam partai ibarat kedua tangan yang satu menggenggam pedang dan lainnya memegang sekuntum bunga mawar. Pada satu sisi, pedang itu diarahkan untuk menebas struktur politik oligarki yang membuat partai hanya diarahkan oleh kehendak untuk mengakumulasi materi dan kuasa. Sementara tangan yang lain menggenggam sekuntum mawar sebagai isyarat mengundang rakyat untuk terlibat dalam kerja politik bersama dalam tiap tindakan yang mengartikulasikan suara kolektivitas. Sebuah peran politik untuk memerhatikan suara rakyat dalam tindakan ataupun pencitraan diri yang akan dibangun parpol.

Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar