Oposisi dan Masyarakat Sipil
by Airlangga Pribadi on Friday, September 18, 2009 at 8:49pm
Kompas Jumat, 11 September 2009 | 04:56 WIB
Airlangga Pribadi
Saat semua partai politik besar akan berhimpun dalam koalisi penguasa, arena politik negeri ini kehilangan kekuatan politik oposisi yang berperan sebagai pengimbang dan pengontrol bagi kekuasaan.
Saat kekuatan pengimbang dari parlemen maupun parpol terancam hilang, hadirnya kekuatan oposisi berbasis masyarakat sipil menemukan relevansinya guna menghindari konformitas politik dan mengartikulasikan perspektif politik yang berbeda dari arus dominan elite politik.
Setelah arena politik Indonesia saat kontestasi pemilu presiden lalu dipadati pertarungan gagasan dan visi ideologis yang beragam (ekonomi kerakyatan vs neoliberalisme), kini drama politik Indonesia terancam sampai pada kondisi antiklimaks. Kondisi ini muncul saat harapan akan hadirnya keragaman dan pluralitas visi politik yang akan mendinamisasi relasi antara legislatif dan eksekutif maupun kehidupan parpol di Indonesia terkikis suasana politik akomodasi antarelite parpol berbasis imbalan kursi kekuasaan.
Tanpa hadirnya keragaman dan pluralitas politik dalam arena politik demokrasi, publik kehilangan kesempatan mengartikulasikan hasrat dan kehendak politiknya di hadapan aneka pilihan ideologi kerja yang beragam dari tiap kekuatan parpol. Keragaman alternatif ideologi yang akan diartikulasikan partai politik tidak akan berkembang baik saat kesempatan itu dikikis langkah elite parpol yang merapat pada kekuasaan. Dan mereka puas dengan imbalan politik yang diberikan penguasa sebagai konsesi atas dukungan politiknya. Di sinilah fenomena kemungkinan merapatnya PDI-P dan Partai Golkar dalam koalisi yang dibangun Partai Demokrat tidak saja menunjukkan pragmatisme elite politik semata, tetapi mereka juga bertanggung jawab atas hilangnya kesempatan membangun arena politik sebagai tempat tumbuhnya beragam alternatif gagasan guna mengartikulasikan hasrat politik publik.
Saat aktivitas politik sebagai jual beli kekuasaan menggantikan politik sebagai perjuangan mengartikulasikan aneka harapan publik yang berbeda, sulit bagi kita membedakan kondisi politik pada rezim demokrasi dan rezim otoritarianisme. Jika pada rezim otoritarianisme pemusatan kekuasaan bekerja melalui opresi politik dan hegemoni, rezim demokrasi nir-oposisi politik menciptakan pemusatan kekuasaan yang dilakukan melalui praktik transaksi kekuasaan dan politik pencitraan guna merekayasa persetujuan. Mekanisme demokrasi secara ironis bekerja untuk memberikan kesempatan para elite parpol melakukan pertukaran kepentingan politik dan menjauhkan mereka dari harapan dan hasrat dari konstituen politiknya.
Peran oposisional
Ketika kekuatan masyarakat politik (elite parpol dan legislatif) tidak menampilkan diri sebagai kekuatan kontrol dan penyeimbang dari koalisi politik yang berkuasa, saatnyalah aktor-aktor strategis masyarakat sipil bekerja sebagai kekuatan oposisional. Seperti diutarakan Alfred Stepan (2001), ketika parpol dan elite politik telah terintegrasi pada blok yang berkuasa, demokrasi harus diperjuangkan oleh kekuatan masyarakat sipil.
Secara umum ada beberapa peran penting oposisional kekuatan masyarakat sipil untuk menyelamatkan demokrasi. Pertama, oposisi berbasis masyarakat sipil berperan mencegah proses integrasi kekuatan politik pada kekuasaan politik. Saat semua elite politik utama menyatu dalam koalisi kekuasaan (SBY dan Partai Demokrat), hadirnya oposisi masyarakat sipil bekerja untuk menjaga perkembangan ideologi dan budaya politik progresif yang baru tampil dalam ruang publik di Indonesia. Harapan tumbuhnya alternatif gagasan yang berbeda tentang masa depan republik ini akan bersemi di ruang publik meski penguasa berhasil merekayasa persetujuan dan menjinakkan elite-elite parpol utama di negeri ini.
Kedua, munculnya berbagai kekuatan strategis masyarakat sipil sebagai oposisi berperan menjaga zona otonom publik dari penetrasi masif kekuasaan politik yang mendesakkan penerimaan dan persetujuan. Saat kekuatan berbagai parpol terintegrasi dengan blok penguasa, sulit mengharap mereka mengartikulasikan suara beda konstituen dengan program dan kebijakan politik dari elite kekuasaan. Oposisi masyarakat sipil bekerja untuk mengartikulasikan suara rakyat yang berbeda dari kebijakan dan diskursus politik elite. Kehadiran oposisi politik dari aktor strategis masyarakat sipil berguna sebagai katalis suara publik sehingga proses demokrasi untuk menciptakan ruang otonom bagi hidupnya berbagai artikulasi gagasan akan terselamatkan.
Ketiga, tampilnya kekuatan oposisi masyarakat sipil bertujuan mengonsolidasikan berbagai kekuatan gerakan sosial yang terpencar dan bekerja dalam ruang-ruang aktivitas sosial yang saling tersekat. Tugas penting oposisi masyarakat sipil adalah menghimpun jejaring kekuatan sosial yang menjadi blok sejarah bagi perubahan pada masa mendatang. Antonio Negri dan Michael Hardt (2004) dalam Multitude mengemukakan, pada konteks politik nasional, jalan perubahan dapat terbangun saat berbagai gerakan sosial kritis membentuk jejaring kolektif gerakan (common web) sebagai artikulasi politik yang kokoh guna menghadapi penyeragaman politik dari elite-elite penguasa.
Apabila aktor-aktor masyarakat sipil di Indonesia sadar akan peran historis mereka sebagai kekuatan oposisional, tugas selanjutnya adalah merumuskan format oposisi yang strategis dan efektif.
Gagasan oposisi itu dapat mengambil banyak bentuk, mulai dengan menciptakan kabinet bayangan dengan menunjukkan kepada publik pilihan kebijakan yang berbeda dari pemerintah sampai pemberdayaan kekuatan masyarakat sipil. Ini untuk mengontrol dan menampilkan suara alternatif dari kebijakan yang diproduksi elite politik, yang telah menjadi bagian koalisi penguasa.
Airlangga Pribadi Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga; Direktur Riset Democracy and Conflict Governance Institute
powered by:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar