Sabtu, 28 Agustus 2010

Konsolidasi Keadilan Sosial

Konsolidasi Keadilan Sosial

by Airlangga Pribadi on Wednesday, August 11, 2010 at 7:52pm
Konsolidasi Keadilan Sosial KOMPAS, 9 Juli 2010 Oleh Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Koordinator Serikat Dosen Progresif
Globalisasi telah mengubah cara pandang kita dalam memahami keadilan sosial. Apabila sebelumnya keadilan difahami semata-mata dalam konteks sosio-redistributif (alokasi dan pembagian barang dan jasa secara adil), maka interaksi terbuka antar orang perorang yang menembus lintas batas bangsa menghadirkan makna baru keadilan sebagai keadilan sosio-kultural dalam pengertian pentingnya penghormatan dan kepedulian terhadap yang lain sebagai manusia yang setara. Dalam berbagai kasus ketidakadilan sosial, seringkali problema keadilan sosial dalam makna distribusi kerapkali berjalin-kelindan dengan problema ketidakadilan kultural.
Saat mendudukkan persoalan didalamnya, kasus amuk ribuan karyawan lokal PT Drydoc di Kota Batam yang didorong oleh kemarahan atas pekerja asing yang mengungkapkan kata-kata menyinggung pada pekerja lokal ini ibarat lapisan tipis gunung es dari gejolak persoalan yang begitu kuat yang ada didalamnya. Dimensi ketidakadilan sosio ekonomi dan kultural ini hadir dalam realitas ketimpangan pendapatan yang diperoleh para pekerja asing rata-rata bergaji 1.500 dollar Singapura (setara Rp 9,8 juta) per bulan. Adapun upah dasar pekerja lokal rata-rata Rp 1,1 juta per bulan yang direkrut melalui praktik sistem kerja outsourcing (Kompas 23 April 2010). 
Problema ketimpangan berbasis identitas berhimpitan dengan ketidakadilan redistribusi dalam kasus konflik industrial yang terjadi di Batam. Meminjam pandangan intelektual post-marxist Nancy Fraser (2007) dalam “Re-framing Justice in a Globalizing World”, ia menguraikan pentingnya memahami problema keadilan sosial dalam dua konstelasi politik progresif yang tengah berkembang di era globalisasi: yaitu Pertama, perjuangan politik progresif berbasis keadilan redistributif sebagai tanggapan terhadap akselerasi ekonomi global yang melahirkan tatanan neo-liberalisme. Kedua, politik progresif dalam bentuk trend politik kepedulian dan penghargaan terhadap yang berbeda (recognition politics) terhubung dengan interaksi antara tiap-tiap orang dalam konteks kebudayaan yang semakin berkarakter multikultural. Sehingga dalam proyek politik progresif ini hadirnya kebebasan yang dibawa oleh pelembagaan demokrasi memberikan arena bagi perjuangan untuk menghadirkan keadilan berdimensi sosial-ekonomi maupun sosial-budaya. 
Demokrasi Nir Keadilan 
Anehnya saat memahami realitas sosial-politik di Indonesia kita mendapati bahwa realitas keberlangsungan konsolidasi pelembagaan demokrasi tidak berjalan seiring dengan konsolidasi pelembagaan keadilan sosial sebagai sesuatu yang terintegrasi dalam 12 tahun berjalannya reformasi. Realitas ini akan semakin terfahami ironis, terutama saat kita memandang secara historis bahwa para pendiri bangsa sejak awal dalam konstitusi UUD 45 maupun Pancasila berusaha untuk mengkonsolidasikan keadilan sosial sebagai tujuan utama dalam proyek berbangsa dan bernegara Indonesia. Inovasi-inovasi yang telah muncul dalam penguatan demokrasi prosedural baik dalam bentuk penataan pemilu legislatif, pemilu presiden langsung sampai pemilu pilkada tidak hadir bersamaan dengan inovasi menghadirkan keadilan sosial bagi warga Indonesia. 
Proses reformasi yang salah satunya melahirkan UU nomor 32 tahun 2004 tentang Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang didalamnya mengatur tentang pelembagaan instalasi demokrasi lokal misalnya tidak memunculkan produk perundang-undangan serupa yang menjamin hadirnya keadilan sosial dalam dinamika politik yang mempertemukan arus global dengan dinamika ditingkat lokal. Sebaliknya dalam konteks kebijakan perburuhan misalnya seperti tertuang dalam Pasal 64-66 Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, negara memfasilitasi sistem outsourcing yang memberi kesempatan pada pemilik modal menekan upah buruh atas alasan menekan biaya produksi, dan sekaligus membuka ekses ketimpangan berbasis identitas akibat jauhnya jarak penggajian antara pekerja ekspatriat dan lokal. 
Dimensi konsolidasi keadilan yang terlupakan dalam 12 tahun reformasi ini berlangsung dalam berbagai persoalan-persoalan kewargaan di Indonesia yang tidak hanya menimpa kaum pekerja di Indonesia. Dalam konteks kebijakan eksplorasi migas di Indonesia misalnya betapa kepentingan untuk menghadirkan investasi asing dan menggali kekayaan alam atas nama kepentingan memperoleh keuntungan ekonomi sampai saat ini masih meninggalkan problema ketidakadilan sosial dan kultural bagi warga penduduk lokal. Bayangkan betapa jauh tingkat kemakmuran dan kesejahteraan dari wilayah New Orleans pusat dari PT Freeport McMoran dengan problema kemiskinan dan persoalan gizi buruk di masyarakat Papua. Dalam dimensi keadilan kultural, kebijakan negara terkait eksplorasi migas betapa kebijakan yang ada tidak sensitif atas tata-budaya Suku Amungme di Papua yang melihat alam dan seisinya sebagai manifestasi ibu pertiwi tempat mereka hidup, bercocok tanam dan mendistribusikan sumber daya secara adil diantara komunitas mereka sendiri (Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani 2006; 184). 
Masih banyak persoalan-persoalan lain yang muncul di republik ini seperti kasus Lumpur Lapindo, penggusuran pedagang pasar dan kaki lima atas nama pembangunan mall-mall dan masalah lainnya akibat terabaikannya proses keadilan sosial ekonomi maupun budaya dalam 12 tahun proses reformasi di Indonesia. Sudah saatnya bagi kekuatan gerakan sosial, masyarakat sipil maupun partai politik memperjuangkan institusionalisasi keadilan sosial seiring dengan pelembagaan demokrasi di Indonesia. 
Seperti diuraikan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam karyanya Lahirnja Pantjasila bahwa prinsip keadilan sosial haruslah menjadi landasan dalam pelaksanaan demokrasi Indonesia yang bersendikan demokrasi baik dalam arena politik maupun ekonomi. Demokrasi liberal yang hanya melindungi kebebasan individual semata tidaklah memadai sebagai prinsip dasar berdemokrasi di Indonesia, karena prinsip tersebut tidak menjamin terciptanya kesejahteraan umum dan terpenuhinya hak-hak dasar dalam dimensi sosial dan ekonomi warganegara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar