Sabtu, 28 Agustus 2010

Bersama Melawan Korupsi

Bersama Melawan Korupsi

 


by Airlangga Pribadi on Wednesday, August 11, 2010 at 9:22pm
Kompas, 10 Agustus 2010 
Bersama Melawan Korupsi 
Oleh Airlangga Pribadi
Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Koordinator Serikat Dosen Progresif
Setelah penganiayaan yang dilakukan terhadap aktivis ICW Tama S. Langkun beberapa waktu lalu, agaknya agenda pemberantasan terhadap korupsi yang bergulir telah sampai pada momen point of no return. Tindakan kekerasan yang mulai dilakukan pada fihak-fihak yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi menjadi peringatan dari para koruptor agar perang melawan korupsi tidak menyentuh daerah-daerah sensitif yang terkait dengan kepentingan para petinggi. Untuk menghadapi ini semua integritas pemerintahan dan kepercayaan antara kita perlu diperkuat untuk memastikan agenda pemberantasan korupsi dimenangkan oleh warganegara.
Meskipun peristiwa penganiayaan tersebut sangat memprihatinkan bagi kita semua, namun respons publik dan elite politik terhadap peristiwa tersebut memberi harapan akan kembalinya kehendak memerangi korupsi yang telah berurat akar direpublik ini. Kedatangan Presiden SBY dan Ketua MK Mahfud MD untuk menjenguk Tama dan langkah sigap dari KPK untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap persoalan korupsi yang diduga melatari kejadian tersebut merupakan pintu pembuka bagi hadirnya kembali semangat memberantas korupsi direpublik ini. Seperti kanker dalam kehidupan republik, persoalan korupsi adalah penyakit sentral yang turut menentukan apakah negara itu telah gagal menjalankan fungsinya (failed state) atau tidak.
Lima abad yang lalu pujangga politik terbesar Italia Nicollo Machiavelli (1512-1517) dalam karyanya Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, memaparkan bahwa menjalarnya korupsi dalam kehidupan republik adalah malapetaka terbesar dalam kehidupan republik. Hilangnya daya hidup dan dinamika kehidupan bernegara bermula dari tumbuhnya perilaku korupsi yang menjalar dan tak dapat dihentikan baik oleh warga maupun elite politik di negeri tersebut. Ketika nafas dari kehidupan politik dalam tatanan republik ditujukan untuk merangkai apa yang dianggap baik untuk kepentingan bersama, maka tindakan yang dilakukan oleh para pejabat publik dan pelayan warga untuk kepentingan personal dan memperkaya dirinya adalah tindakan yang secara perlahan mengikis aktivitas politik sebagai seni untuk merangkai kebaikan bersama. Politik berhenti dan mati sebagai aktivitas positif saat setiap aktivitas bernegara diperuntukkan untuk memperkaya kepentingan personal dari elite-elite politik.
Mari kita bentangkan perjalanan sejarah di republik ini, penyelewengan terhadap tujuan bernegara dalam Konstitusi UUD 45 maupun Pancasila berjalan seiring mewabahnya korupsi di republik ini. Pembusukan politik (political decay) dalam kehidupan bernegara terjadi sejak masa awal Orde Baru, ketika pada waktu itu Soeharto tidak serius mengindahkan nasehat Bung Hatta (yang pada tahun 1970 menjadi Penasehat Presiden) untuk segera memberantas persoalan korupsi yang saat itu tengah mewabah di tubuh perusahaan minyak nasional Pertamina.
Selanjutnya seperti kita saksikan bersama, rezime Orde Baru berkembang menjadi rezime yang tumbuh melalui penghisapan terhadap aset-aset publik maupun persekongkolan pengusaha dan penguasa yang berpusat di keluarga Cendana. Akibatnya proses pembangunan yang berlangsung kala itu tidak pernah benar-benar dinikmati oleh masyarakat banyak, pemusatan kekayaan tertumpu pada elite minoritas ekonomi-politik saja. Pada era pasca Orde Baru, kita saksikan bahwa lesunya antusiasme dan partisipasi publik dalam aktivitas politik dan bernegara tidak dapat dilepaskan dari begitu kuatnya korupsi berurat akar dan menjadi persoalan yang belum bisa terselesikan secara tuntas. Sehingga seperti diutarakan oleh Vedi R. Hadiz dan Richard Robison (2004) dalam Reorganising Power in Indonesia, bahwa pertarungan politik paska Orde Baru menandai berseminya pertarungan politik antara elite-elite oligarkhis menjadi predator aset-aset publik ditengah semakin terintegrasinya Indonesia dalam pusaran rezime pasar bebas.
Selanjutnya, telah menjadi fakta sejarah, bahwa korupsi selalu menjadi malapetaka dalam saat-saat menentukan kehidupan kita bernegara. Belajar dari ini semua perang terhadap korupsi tidak dapat lagi surut. Kebersamaan dalam kehidupan bernegara dan energi positif rakyat sudah saatnya diarahkan pada pemusatan perang terhadap korupsi. Ada beberapa langkah yang seharusnya dilakukan untuk menuntaskan ikrar melawan korupsi ini. Langkah Politik Terkait dengan penguatan kembali ikrar melawan korupsi, Presiden seharusnya mengambil langkah didepan untuk menjelaskan kepada publik mengapa suatu kebijakan perang terhadap korupsi sampai keakar-akarnya harus diambil, apa alasan dan logikanya, langkah apa yang akan dilakukan dalam jangka waktu cepat dan apa yang akan didapatkan secara transparan dari langkah-langkah politik yang telah diambil. Setelah beberapa waktu lalu integritas pemerintahan dihantam bertubi-tubi terkait dengan Century Gate, maka kasus dugaan korupsi ini menjadi momentum penting bagi Presiden untuk bertinda.
Beberapa pakar komunikasi politik seperti Arjen Boint, Paul’t Hart et.al (2005) dalam karyanya The Politics of Crisis Management: Public Leadership Under Pressure mengutarakan pentingnya penciptaan makna bersama (collective meaning making) oleh pemimpin dan tim politiknya disaat krisis untuk mengurangi ketidakstabilan yang muncul di masyarakat. Pemimpin harus mampu membangun komunikasi politik untuk menjelaskan apa yang terjadi, mengapa hal ini sampai terjadi, apa yang segera harus dilakukan oleh pemerintah, bagaimana kebijakan tersebut dapat menyelesaikan persoalan, bagaimana tokoh-tokoh publik dan masyarakat dapat dilibatkan bersama untuk ikur serta menyelesaikan persoalan. Keberhasilan dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi juga sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pemerintah membersihkan elemen-elemen didalam dirinya yang terkait dan tidak bersih dari persoalan korupsi.
Komunikasi politik dalam kepemimpinan politik membutuhkan kerja konkret yang dapat dilihat oleh publik secara terbuka. Kampanye perang terhadap korupsi membutuhkan pemerintahan yang otentik dan warga yang berpartisipasi untuk mengawal proses tersebut. Dalam kondisi demikian maka terbangunya kepercayaan kolektif ketika pemerintah mampu meyakinkan warga akan agenda tersebut menjadi prasyarat utama. Momentum ini menjadi kesempatan bagi Presiden SBY untuk membangun kembali kepercayaan warga terhadap integritas pemerintahannya memberantas korupsi. Hal ini tentunya harus dilakukan dengan melakukan pembersihan terhadap aparat-aparat negara yang terindikasi kasus korupsi, memperkuat kembali dan tidak membonsai komisi seperti KPK untuk menghantam korupsi diberbagai sudut-sudut kelembagan negara yang selama ini tak terjangkau. Dengan integritas pemerintahan yang kokoh inilah, maka kepercayaan sosial dari warga terhadap pemerintah dapat dirajut kembali. Sementara pada langkah yang tidak dapat kembali lagi, prospek pemberantasan korupsi berjalan seiring dengan prospek rehabilitasi kehidupan republik. Kemampuan untuk mengintegrasikan langkah memerangi korupsi akan menjadi pertaruhan terpenting dari integritas pemerintahan SBY dimata rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar